PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) batik di Kecamatan Sokaraja, Banyumas tersandera masalah limbah industri batik yang memakan biaya tinggi dan sulitnya pengolahannya. Para pelaku UMKM meminta bantuan pemerintah untuk ikut serta memikirkan limbah batik.
Harapan itu disampaikan para pelaku UMKM saat acara penyuluhan pengolahan limbah industri Batik oleh Dr Ratna Stia Dewi MSc, dosen Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, pekan lalu. Turut hadir perwakilan dari Stasiun Pengawasan Sumber Daya Perikanan (PSDKP) KKP Cilacap Yogi Prasetyo.
Ketua Aliansi Batik Banyumasan Fauzan mengakui limbah industri batik sulit diatasi dan memakan biaya tinggi. “Tahun 2019, kami para perajin batik Sokaraja dipaksa untuk menghentikan produksi hanya karena limbah industri batik mencemari lingkungan,”jelasnya.
Fauzah juga mengeluhkan biaya yang tinggi pada pengolahan limbah batik. “Kami masih terjebak dalam permasalahan limbah saat itu, belum ada metode pengolahan sempurna dan sementara yang ada membutuhkan biaya tinggi,’ungkapnya.
Fauzan mengatakan metode pengolahan limbah pernah ditawarkan oleh salah satu akademisi di luar unsoed pada tahun 2019. Tetapi hasilnya masih menyisakan residu yang tidak terurai dan selain itu prosesnya memerlukan biayanya sangat tinggi.
“Metodenya hanya memanaskan air limbah sehingga menyisakan residu yang tidak terurai. Pemanasan inilah yang kemudian menimbulkan biaya tinggi,” imbuh Fauzan.
Perwakilan PSDKP KKP Cilacap Yogi Prasetyo mengingatkan pada para perajin jika terjadi pencemaran dan mengakibatkan kematian ikan dapat berdampak hukum.
Mengenai persoalan tersebut, doktor ahli jamur Fakultas Biologi Unsoed Dr Ratna Stia Dewi MSc merekomendasikan metode pengolahan limbah industri batik ada unit pengolahan limbah secara terpadu terpusat.
“Metode pengolahannya menggunakan miselium fungi atau jamur mikroskopik Aspergillus sp. strain unggul yg ditemukannya dan sudah mendapatkan paten sangat efektif untuk mendegradasi semua jenis limbah batik baik indigosol, naftol, procion,”jelasnya.
Doktor yang konsisten meneliti jamur sejak S1 hingga S3 ini menjelaskan harus dibuat terpusat, karena mempertimbangkan biaya pengolahan limbah ini tidak terlalu membebani harga pokok produksi para perajin.
“Faktor harga sangat sensitif, maka jangan sampai peningkatan biaya pengolahan limbah akhirnya menurunkan daya saing produk kerajinan batik di Sokaraja,”tegasnya.
Dia merekomendasikan pengolahan limbah dengan metode biologikal karena biaya relatif lebih murah, dan mudah. “Metode ini sudah tidak menyisakan limbah baru. Semua limbah diurai atau dalam tanda kutip termakan oleh jamur sebagai nutriennya, tanpa menyisakan residu seperti metode-metode lain,”katanya.
Ratna mengungkap fakta bahwa para perajin menginginkan pengolahan limbah sangat instan. “Mereka ingin pengolahan limbah itu secepat mereka menuangkan air. Metode Biologikal ini membutuhkan waktu 12 jam dan atau lebih sempurna jika dilakukan 24 jam. Dengan alat IPAL hasil inovasinya menggunakan fungi unggul dengan kemasan dilengkapi IoT dapat mengukur parameter lingkungan secara otomatisasi,”paparnya.
Berdasarkan kondisi dan tantangan di lapangan Ratna merekomendasikan kepada pemerintah untuk membangun sentra pengolahan limbah yang terpusat dalam skala besar.
“Jelas ini membutuhkan campur tangan pemerintah untuk mendanai Pembangunan fasilitas pengolahan limbah industri batik. Bantuan pemerintah untuk mendorong penjualan hasil kerajinan batik sudah tepat. Tetapi bantuan untuk membiayai pengolahan limbah juga harus dipikirkan,”tegasnya.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait