Tangisan Suka dan Derai Air Mata Duka di Maracana

Elde Joyosemito
Lionel Messi saling memberi semangat di final Copa America 2021. (Foto: REUTERS/Ricardo Moraes)

BEGITU wasit asal Uruguay Esteban Ostojich meniup peluit panjang  tanda usai pertandingan final Copa America 2021, dua bintang sepak bola dunia, Lionel Messi dan Neymar da Silva Santos Jr spontan menitikkan air mata.

Leo, sang kapten Timnas Argentina mendadak tak kuasa membendungnya. Dia yang sendirian di sekitar gawang dihampiri oleh rekan-rekan timnya untuk memberikan ucapan selamat. Ya, ini bukan sekadar kemenangan Argentina, tetapi mimpi Messi yang menjadi kenyataan.

La Pulga, julukan Messi, memang hampir meraih semuanya. Catatan prestasi bersama La Albiceleste, julukan Timnas Argentina selalu terhempas di pertandingan final. Misalnya kandasnya Argentina di Piala Dunia 2014 dan empat kali Copa America.

Maka, Messi memastikan bahwa dirinya bersama dengan Timnas Argentina belum habis. Ia selalu memiliki mimpi besar, seperti julukan di luar nalar manusia yang kerap disematkan kepadanya.

“Saya selalu tersedia untuk Argentina, juara bersamanya selalu menjadi mimpi saya, beberapa kali mimpi itu terasa dekat. Tetapi, tidak pernah terwujud. Saya akan terus berusaha dan berjuang untuk meraih mimpi ini,”ungkap Messi pertengahan Juni lalu seperti dilansir Mundoalbiceleste.

Mimpi itu menjadi nyata, justru di Maracana, stadion kebanggaan Brasil di Rio de Janerio. Sumringah mendadak ada di wajah La Pulga yang sepanjang pertandingan terlihat menanggung berat beban. Bahkan, di waktu-waktu krusial menjelang akhir pertandingan, Messi mengutuki dirinya sendiri tatkala hanya tinggal berhadap-hadapan dengan kiper Brasil, Ederson Moraes. Ia terjatuh dan gagal mencetak gol.

Ada rasa yang semakin menyesak di dadanya atas kegagalan itu. Untuk “menebus dosanya”, dia kemudian berusaha untuk sekuat tenaga menghimpun kekuatan bertahan dari gedoran Tim Samba. Ia hanya berusaha untuk terus bertahan dan bertahan. Maka, ketika tiupan peluit sang wasit terdengar, Messi seakan melihat surga terbuka.

Ia terisak tangis, bukan karena duka, tetapi suka yang membahana. Mimpinya menjadi nyata, hanya beberapa menit setelah dia mengalami kegagalan. Messi memang meyakini, segala sesuatu akan berubah. Sama seperti kata Cicero, bahwa yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri.

Benarlah, semua indah pada waktunya. Demikian juga roda nasib La Pulga sebagai hadiah di usianya yang menginjak 34 tahun. Messi harus berterima kasih pada Angel Di Maria, karena gol semata wayangnya mampu membawa La Albiceleste mengakhiri puasa gelar di tunamen mayor selama 28 tahun. Pelukan erat keduanya menjadi bukti bagaimana mereka merindukan masa-masa jaya.

Tak hanya suka, di Stadion Maracana, yang seharusnya menyajikan sukaria, mendadak menjadi pengap ketika Tim Samba harus menelan pil pahit kenyataan. Gocekan layaknya tarian samba Neymar tak mampu sekalipun merobek jala Tim Tango. Neymar menjadi pemain yang paling kerap dilanggar oleh pemain lawan dengan berujung kartu kuning.

Kehebatan Neymar di lapangan hijau tak pernah diragukan, tetapi kenyataan pertandingan menjadi sumber kegalauan. Neymar hanya dapat menangis tersedu. Ia dihibur oleh teman-temannya. Mimpinya menjadi juara Copa America di Maracana harus direnggut oleh Messi dan kawan-kawannya.

Ia terlihat begitu sedih, bahkan derasnya air mata menghapus kucuran keringat sepanjang pertandingan yang terus mengalir.

Segala kegalauan, kepedihan berkecamuk tanpa ada yang bisa meredam. Pelukan satu per satu temannya tak sanggup menyingkirkan kepedihannya. Dalam filsafat Jerman, suasana yang dirasakan Neymar adalah sebuah tegangan, tegangan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang seharusnya terjadi (das sollen) yang menghasilkan rasa sakit (weltschmerz). Tegangan ini menghasilkan banyak emosi buruk, salah satunya adalah amarah.

Di sinilah kehebatan Neymar sebagai seorang bintang diuji. Beberapa saat ia menyendiri. Dia mencoba melepaskan keinginannya, sehingga dapat menerima apa adanya. Dia tak lagi memaksakan, supaya dunia berjalan sesuai dengan keinginannya. Neymar melepaskan mimpi dan harapan yang telah menjadi kosong. Di titik itulah, Neymar menemukan kembali kedamaian sesungguhnya.

Dia kemudian bangkit. Dengan elegan, Neymar berjalan menuju Tim Tango yang tengah menari suka ria. Tangisannya berganti dengan senyuman. Neymar langsung memeluk Messi, sahabatnya. Pelukan tulusnya dibalas oleh Messi. Kedua mahabintang itu merangkum drama dunia, duka dan suka.

Seorang guru spiritual Eckhart Tolle pernah mengatakan bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu  itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang nyata.

Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa kini.

Messi boleh jadi bersuka saat ini, tetapi kesukaan itu barangkali akan hinggap untuk Neymar juga. Di masa yang berbeda. Neymar sudah tampil elegan. Seolah ia mendengar bisikan Dalai Lama. Bahwa, “kita tidak pernah bisa mendapatkan kedamaian di dunia luar sampai kita berdamai dengan diri kita sendiri”.

 

 

Editor : EldeJoyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network