Jika disebut akan tertimpa sial bila menikah di bulan Muharram atau Suro maka hal itu sama saja mencela waktu. Padahal dalam Islam hal itu sangat dilarang.
Apalagi jika yang dicela adalah bulan yang istimewa, disebut sebagai bulannya Allah.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah kalian mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr”. (HR Muslim, dari Abu Hurairah)
Dilarang mencela waktu, karena seorang yang mencela waktu, dia telah mencela Tuhan yang mengatur waktu, yaitu Allah ‘azza wa jalla.
Oleh karenanya dalam hadis yang lain diterangkan. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِيَ الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”. (HR. Bukhori & Muslim, dari Abu Hurairah)
Ibnu Katsir menukil pernyataan Imam Syafi’i dan Abu Ubaidah –rahimahumullah-, menjelaskan maksud hadis ini,
كانت العرب في جاهليتها إذا أصابهم شدة أو بلاء أو نكبة قالوا : ” يا خيبة الدهر ” فيسندون تلك الأفعال إلى الدهر ويسبونه وإنما فاعلها هو الله تعالى فكأنهم إنما سبوا الله عز وجل لأنه فاعل ذلك في الحقيقة فلهذا نهى عن سب الدهر بهذا الاعتبار لأن الله تعالى هو الدهر الذي يصونه ويسندون إليه تلك الأفعال .
وهذا أحسن ما قيل في تفسيره ، وهو المراد . والله أعلم
Dahulu orang Arab saat masa Jahiliah jika tertimpa musibah mereka berucap,
“Dasar waktu sial..!”
Mereka menyandarkan sebab musibah itu kepada waktu, kemudian mencelanya. Padahal yang menciptakan segala kejadian adalah Allah. Maka seakan-akan mereka telah mencela Allah ‘azza wajalla. Karena pada hakikatnya Allah yang menimpakan kejadian itu. Inilah sisi alasan larangan mencela waktu. Karena Allah lah yang mengatur waktu dan sejatinya mereka telah menyandarkan kesialan musibah itu kepadaNya. Penjelasan ini adalah penjelasan paling baik untuk makna hadis di ini.
(Umdah at Tafsir Ibnu Katsir, 3/295-296)
Paparan ini juga menunjukkan bahwa, mitos menganggap waktu sial adalah budaya jahiliah. Inilah alasan ke empat.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait