PURBALINGGA, iNewsPurwokerto.id - Rangkaian Festival Gunung Slamet (FGS) 2024 yang digelar selama tiga hari sejak Jumat-Minggu (12-14/7/2024) dilanjutkan dengan tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah. Prosesi pengambilan air Tuk Sikopyah ini menjadi upaya pelestarian budaya dan juga pelestarian lingkungan di lereng Gunung Slamet.
Kepala Desa Serang, Sugito, mengatakan bahwa tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah telah dilakukan secara turun temurun oleh warga Serang. Prosesi ini bukan hanya ritual semata, tapi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah alam serta pengingat untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan.
“Prosesi ini sebagai bentuk rasa syukur karena telah diberi limpahan rizki berupa air yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat Desa Serang dan sekitarnya. Sedangkan gunungan sayur yang jumlahnya 48 gunungan itu juga sebagai wujud rasa sukur warga desa yang notabene 90% adalah petani,” kata Sugito dalam keterangannya, Sabtu (13/7/2024).
Sugito menerangkan, Tuk Sikopyah yang merupakan salah satu mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet telah menjadi sumber kehidupan bagi warga Desa Serang, Kutabawa dan Siwarak, serta dialirkan hingga ke wilayah Desa Gombong, Kecamatan Belik, Pemalang.
Pemerintah Desa Serang bersama masyarakat berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan di Lereng Gunung Slamet dengan melakukan reboisasi dan menerapkan aturan ketat terhadap perusakan tanaman di sekitar mata air.
“Supaya disana lebih Lestari, agar mata airnya semakin tahun tidak semakin hilang tapi justru semakin bertambah, kita juga membuat aturan supaya jangan sampai merusak tanaman atau pohon yang ada di sekitar mata air. Apabila ada warga masyarakat yang merusak pohon ataupun tanaman di sekitar mata air kita beri sanksi berupa denda uang sampai 5 juta rupiah. Ini sudah menjadi kesepakatan dan komitmen warga masyarakat Desa Serang,” terangnya.
Tokoh masyarakat Desa Serang, Syamsuri, juga menyampaikan pentingnya menjaga lingkungan di lereng Gunung Slamet agar masyarakat tidak kekurangan air, bahkan saat musim kemarau.
“Alhamdulillah, meski kemarau sampai 6-7 bulan, air tetap cukup. Saya berharap masyarakat selalu menjaga lingkungan dengan penghijauan diiringi dengan berdoa bersama seperti ini,” katanya.
Prosesi pengambilan air Tuk Sikopyah dimulai dengan pembacaan doa dan pelepasan peserta dari Dusun Kaliurip, Desa Serang. Rombongan yang terdiri dari 70 pria dan 70 wanita membawa lodong (tempat air dari bambu) menuju Tuk Sikopyah di lereng Gunung Slamet, yang berjarak sekitar 1 kilometer. Dalam iringan tersebut, juga terlihat sejumlah wanita membawa sesaji. Sesampainya di Tuk Sikopyah, sesepuh masyarakat memimpin doa sebelum air dimasukkan ke dalam lodong.
Setelah prosesi pengambilan air, rombongan kembali ke Dusun Kaliurip dan mengirab lodong berisi air Tuk Sikopyah menuju Objek Wisata D’las Serang. Mereka diiringi masyarakat Desa Serang yang membawa 48 gunungan berisi hasil bumi. Sesampainya di D’las Serang rombongan disambut ribuan pengunjung yang bersiap berebut gunungan hasil bumi dan air Sikopyah.
Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol rasa syukur, tetapi juga menunjukkan komitmen masyarakat Desa Serang dalam melestarikan alam dan budaya setempat.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait