Menurut ulasan media Australia, inilah masalah mendasar demokrasi Indonesia sejak jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998. Meskipun Suharto mengundurkan diri, banyak dari rezimnya yang didukung militer tetap berkuasa.
Basis tradisional kekuatan politik dan ekonomi tetap utuh meskipun ada reformasi demokrasi yang ambisius pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Kebangkitan Jokowi dari pebisnis furnitur dan politikus lokal ke jabatan tertinggi tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan dari elite yang ada.
Kesuksesan Jokowi ke tampuk kekuasaan membutuhkan dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri—putri dari bapak pendiri Indonesia, Sukarno.
Mentor politik lama Jokowi, menurut media Australia, adalah mantan jenderal militer Luhut Pandjaitan, yang pengaruhnya terhadap presiden sangat besar sehingga ada yang bercanda bahwa dia adalah perdana menteri (atau lebih kasarnya, "Lord Luhut").
Kualitas demokrasi Indonesia secara luas dianggap telah tergerus di bawah Jokowi. Salah satu perubahan yang dianggap sebagai bagian dari tren ini adalah pelumpuhan KPK yang dulunya tangguh.
Apa pendapat presiden baru, Prabowo Subianto—yang juga mantan jenderal dan mantan menantu Soeharto—tentang semua ini? Prabowo, yang mencalonkan diri sebagai presiden beberapa kali sebelum berhasil pada tahun 2024, mengatakan minggu lalu bahwa "beberapa orang memiliki kehausan yang tak ada habisnya akan kekuasaan dan [dengan kekuasaan itu] berusaha mengejar kepentingan di luar rakyat."
Para pengunjuk rasa telah meraih beberapa kemenangan—setidaknya untuk saat ini. Menghadapi protes massa, DPR mundur dari upaya pengesahan perubahan elektoral selama masa jabatan pemerintahan saat ini. Partai politik yang dipimpin oleh putra Jokowi, Kaesang, kini menyatakan bahwa dia tidak akan mencalonkan diri dalam Pilkada pada bulan November.
Apa pun yang terjadi, satu hal yang jelas: kaum demokrat Indonesia tidak akan membiarkan sistem pengawasan dan keseimbangan yang mereka perjuangkan dengan susah payah dibongkar tanpa perlawanan.
"Saya ingin kita tetap marah, saya ingin kalian tetap panik," tulis mantan editor Jakarta Post Evi Mariani untuk perusahaan rintisan media digital yang didirikannya bersama, Project Multatuli.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait