LONDON, iNewsPurwokerto.id-Para ilmuwan di Inggris telah menemukan fosil kecoa yang diperkirakan berusia 180 juta tahun.
Spesies kecoa baru dari zaman Jurassic ini, diberi nama Alderblattina simmsi, ditemukan di Gloucestershire.
Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Papers in Palaeontology oleh dua ahli paleontologi dari Universitas Terbuka, Emily Swaby dan Angela Coe, bersama Andrew Ross dari Museum Nasional Skotlandia.
Penemuan spesies baru ini bermula ketika ketiganya mempelajari spesimen kecoa yang ditemukan pada tahun 1984 oleh ahli paleontologi Mike Simms.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecoa pertama kali muncul sekitar 323 hingga 315 juta tahun lalu pada Zaman Bashkiria. Sejak itu, kecoa telah mengalami evolusi dan berperan penting dalam siklus ekosistem sebagai pengurai nutrisi, sekaligus menjadi sumber makanan bagi berbagai spesies.
“Sebagai detritivor (pengurai), kecoa berperan penting dalam siklus nutrisi ekosistem, membantu proses penguraian bahan organik, dan menjadi sumber makanan penting bagi banyak predator, termasuk burung, kadal, dan mamalia,” tulis para peneliti dalam makalahnya.
Peneliti mencatat bahwa populasi kecoa sempat berkurang drastis akibat kepunahan massal pada akhir periode Permian, namun kembali berkembang pada periode Triasik.
Untuk mempelajari lebih lanjut spesies ini, para ilmuwan mengambil fosil yang tersimpan di Museum & Galeri Seni Bristol dan mengamati sayapnya menggunakan berbagai teknik. Mereka membuat gambar garis pada sayap untuk memahami aliran udara dan pola terbang kecoa tersebut di masa lalu.
Setelah penelitian mendalam, peneliti menetapkan bahwa kecoa ini berasal dari zaman Toarcian, bagian awal periode Jurassic sekitar 180 juta tahun lalu, dan menamainya Alderblattina simmsi.
Para peneliti juga menyoroti ciri fisik menarik dari kecoa ini, yang berukuran kecil dan memiliki pola warna unik pada sayapnya. Ini merupakan spesies kecoa kedua dari zaman Toarcian yang memiliki pola warna sayap.
“Pola warna pada serangga, termasuk pada sayap kecoa, umumnya dianggap sebagai adaptasi fisiologis dan/atau digunakan untuk perlindungan dari pemangsa atau sebagai sinyal seksual,” jelas para paleontolog.
Editor : Elde Joyosemito
Artikel Terkait