Wartawan Diduga Intervensi Kasus Siswa Ditembak Polisi, AJI Semarang: Menyalahi UU Pers

Arbi Anugrah
Karangan bunga memenuhi halaman SMKN 4 Semarang menyusul tewasnya Gamma, siswa sekolah yang ditembak oknum polisi, Selasa (26/11). Foto: MPI

SEMARANG, iNewsPurwokerto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengutuk tindakan seorang wartawan yang berusaha mengintervensi kasus GRO (17), siswa SMK Negeri 4 Semarang yang ditembak oleh polisi agar tidak terungkap ke publik. Keterlibatan wartawan dalam intervensi kasus ini terungkap melalui pengakuan seorang kerabat keluarga korban yang berinisial S.

Kerabat tersebut menyatakan bahwa sehari setelah insiden penembakan yang mengakibatkan meninggalnya almarhum GRO, keluarga dikunjungi oleh Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar bersama seorang wartawan berbadan gempal, Senin (25/11) malam.

Perwakilan keluarga ini telah ditunjukkan foto seorang wartawan yang dimaksud dan dia membenarkan.

Dalam pertemuan itu, keluarga GRO diminta oleh pihak kepolisian dan wartawan untuk menandatangani dokumen pernyataan serta merekam video yang menyatakan bahwa mereka telah mengikhlaskan kepergian almarhum. 

Namun keluarga menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Alasan keluarga menolak karena pernyataan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar tidak sesuai fakta sebenarnya.

Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan, menyatakan bahwa tindakan jurnalis atau wartawan yang berupaya menyembunyikan peristiwa kematian GRO merupakan suatu tindakan yang serius dan dapat merusak integritas profesi jurnalis.

Tindakan tersebut juga sangat bertentangan dengan prinsip dasar jurnalisme, di mana seorang jurnalis seharusnya menyampaikan kebenaran dalam setiap laporan tanpa terpengaruh oleh kepentingan tertentu.

"Tak hanya itu, tindakan cawe-cawe jurnalis dalam kasus GRO berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik," kata Aris dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/12/2024).

Aris merinci, dalam Pasal 4 UU Pers jelas disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. 

Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional memiliki hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. 

Namun, wartawan ini dalam kasus GRO malah ada upaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis untuk meliput kasus tersebut. 

Dalihnya, Kapolrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. 
 
Di dalam Pasal 18 UU Pers sudah sangat jelas tertulis Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. 

"Mirisnya, potensi pelanggaran ini malah dilakukan oleh wartawan itu sendiri," ungkap Aris. 

Selain itu, upaya intervensi wartawan terhadap kasus GRO tidak sesuai dengan kode etik AJI meliputi jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik. 

Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.

Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi. 

"Sikap dari wartawan itu sangat jauh dari  tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan," ujar Aris. 

Menurut Aris, kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang.  

Untuk itu, dia menekankan agar jurnalis memiliki prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan. Tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta supaya menaati rambu-rambu tersebut. "Wartawan bukan Humas Polri," tandasnya.

Editor : Aryo Arbi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network