PURWOKERTO, iNews.id - Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, tapi Belanda sejak awal tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia dan lahirnya Negara Republik Indonesia yang merdeka sepenuhnya. Belanda datang ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutunya Inggris 2 September 1945 dengan menggunakan kapal Cumberland yang mendarat di Tanjung Prok.
Namun saat pasukan sekutu kembali pulang, Belanda malah tetap berada di Indonesia dan membangun kekuatannya di Jawa. Menyadari keadaan semakin genting menghadapi kekuatan Belanda, maka seluruh angkatan perang bersatu membentuk Tentara Republik Indonesai (TNI) untuk menghadapi Belanda.
Dalam buku Banyumas Membara Era Tahun 1945-1950, daerah Banyumas memiliki kekuatan personal dan persenjataan yang cukup lengkap serta baik, saat itu tengah kosong karena sebagian besar pasukan sedang bertugas di daerah Jawa Barat, Priangan Timur yang dipimpin oleh Lektol Moch. Bahroen (Dan Men 16). Pasukan ini baru kembali ke Banyumas setelah diberi izin Panglima Divisi Siliwangi.
Saat itu Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani Belanda dan RI pada 5 November 1946, yang berisi pengakuan secara de facto atas RI untuk Jawa dan Sumatera. Belanda mengerahkan kekuatan militernya dari Bandung ke Cirebon yang dipimpin oleh Kolonel Jantje Maiyer, untuk merobek daerah Banyumas untuk kemudian mencapai Ibu Kota RI di Yogyakarta.
Setelah beberapa kota berhasil dikuasai Belanda, termasuk pelabuhan Tegal. Belanda terus melaju ke daerah Bumiayu yang merupakan pintu masuk menuju Banyumas. Di Kota Bumiayu, pasukan Batalyon Brotosiswojo dan pasukan bersenjata lainnya membuat halang rintang untuk menghambat laju tentara Belanda menuju Kota Purwokerto.
Sembilan buah jembatan menuju daerah Banyumas dan Kota Purwokerto diledakkan serta di hancurkan. Namun usai diledakkan, ternyata pasukan Belanda menyadap hubungan telepon pasukan tentara Indonesia, sehingga pasukan Belanda dapat mengetahui konsentrasi pasukan Indonesia di wilayah tersebut.
Perlawanan pasukan RI di Bumiayu yang dipimpin oleh Mayor Brotosiswoyo dengan kekuatan empat kompi, dan sulitnya perjalanan masuk ke Purwokerto akibat rintangan dan hancurnya jembatan-jembatan, maka pasukan Belanda mundur ke arah Margasari, Banjaran, Balapulang dan bergabung dengan pasukan Belanda Tegal. Mereka meneruskan perjalanannya ke Kalibakung wilayah Bumijawa, terus ke timur ke Belik yang dipertahankan oleh pasukan ALRI. Pasukan Belanda terus maju, yang tujuannya menerobos masuk daerah Bobotsari dan memutari Gunung Slamet.
Setelah melalui pertempuran sengit, Bobotsari akhinya dikuasai Belanda pada Rabu 30 Juli 1947 sekitar pukul 16.30 WIB. Mengetahui pertahanan di Bobotsari telah dikuasai Belanda, Panglima Divisi II Gatot Soebroto memerintahkan untuk membumi hanguskan gedung-gedung dan bangunan-bangunan penting di Kota Purwokerto seperti Stasiun Timur dan pabrik gula serta instalasi-instalasi militer agar tidak digunakan tentara Belanda.
Pada Kamis 31 Juli 1947 sekitar pukul 08.00 WIB, tentara Belanda yang sudah dihadang batalyon IV Wongsoatmodjo di Desa Sidangkangen, Kalimanah, Purbalingga segera dihujani tembakan dan senapan mesin serta mortier olah pasukan TNI. Pertempuran seri berlangsung lama di wilayah tersebut mengakibatkan 22 prajurit TNI gugur dan terpaksa dimakamkan dalam satu lubang karena keadaan sangat gawat.
Pasukan Belanda terus melaju hingga Sokaraja yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kota Purwokerto. Tentara Belanda terus menghujani Kota Perwokerto dengan tembakan-tembakan arteleri yang mengenai rumah-rumah dan bangunan di sekitar alun-alun Purwokerto. Pada pukul 12.00 WIB pada hari itu, Belanda berhasil menguasai Kota Purwokerto.
Sejak tentara Belanda menduduki Purwokerto, hampir seluruh kekuatan aparatur RI di daerah Karisidenan Banyumas dan Kementerian Dalam Negeri (Departemen Dalam Negeri) serta Kepolisian Negara menggunakan daerah utara Purwokerto sebagai basis gerilya dan pusat kegiatan Pemerintahan RI. Hingga akhirnya Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Baturraden pindah ke Yogyakarta.
Setelah menduduki Purwokerto, Belanda kemudian mengadakan pembersihan ke desa-desa sekitar yang menjadi basis perjuangan tentara Indonesia di Banyumas.
Pada 4 Agustus 1947, usai Purwokerto dikuasai, tentara Belanda terus memperluas serangan dengan membagi dua kekuatannya untuk menuju Klampok dan menduduki Purwanegara melalui Banyumas. Sedangkan sebagian tentara Belanda menuju Cilacap melalui Wangon untuk kemudian menuju Jeruk Legi.
Meskipun telah dipertahankan habis-habisan oleh kesatuan Resimen 15 dibawah pimpinan Letkol Abimanjoe, namun akhirnya Kota Cilacap pun jatuh ketangan Belanda melalui serangan darat dari arah Jeruk Legi pada 4 Agustus 1947.
Gerakan Belanda pada tanggal tersebut menuju Timur pun mendapatkan perlawanan sengit dari tentara Indonesia yang berasal dari Banyumas, Belanda akhirnya terhenti di Gombong dan mendudukinya.
Gencatan Senjata
Agresi militer yang dilancarkan Belanda tak hanya mendapatkan perlawanan sengit dari Pemerintah RI dan rakyatnya.Tapi juga reaksi kecaman dari luar negeri, sehingga berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 4 Agustus 1947 tersebut, RI dan Belanda menghentikan tembak menembak melalui Perjanjian Renville.
Sedangkan posisi tentara Belanda di daerah Banyumas adalah sampai disebelah timur Gombong atau sepanjang kali Kemit ke utara dekat Mandiraja atau beberapa kilometer sebelah barat Banjarnegara, tepatnya di Desa Joho. Di tempat tersebut dan di jembatan kali kemit berdiri monumen yang menunjukkan batas antara RI dan Belanda. Tempat tersebut kemudian diberi nama garis Van Mook atau garis demarkasi.
Namun lagi-lagi Belanda melanggar gencatan senjata tersebut, pasukan belanda melancarkan 17 kendaraan lapis baja dan 20 truk menyerang Kota Gombong pada 5 Agustus 1947 sekitar pukul 02.30 WIB, hingga akhirnya kembali disambut oleh pasukan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait