Oleh: Adi Haryo Wicaksono
Hilirisasi tak hanya untuk komoditas industri besar, namun pada semua komoditas di tanah air. Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan hal ini dalam pidato perdana usai diambil sumpah jabatannya sebagai Presiden RI di Gedung DPR/MPR.
“Untuk menjamin melindungi mereka yang paling lemah, untuk mencapai kesejahteraan sejati, kemakmuran yang sebenarnya, kita harus melakukan hilirisasi kepada semua komoditas yang kita miliki. Nilai tambah dari semua komoditas itu harus menambah kekuatan ekonomi kita, sehingga rakyat kita bisa mencapai tingkat hidup yang sejahtera”.
Pernyataan orang nomor satu di Indonesia tersebut memberikan peluang bagi UMKM untuk dapat berkontribusi dalam program hilirisasi salah satunya melalui hilirisasi pertanian.
Hilirisasi pertanian merupakan upaya mengolah bahan mentah pertanian menjadi produk bernilai tambah. Hilirisasi pertanian dapat dilakukan dengan cara diversifikasi produk atau mengolahnya lebih lanjut menjadi produk turunan lain. Sebagai contoh bawang merah yang dapat diolah menjadi berbagai produk turunan diantaranya pasta bawang, minyak bawang, dan produk olahan lainnya.
Hilirisasi pertanian diyakini dapat membuka lapangan pekerjaan yang besar. Sumber daya dan aktivitas pertanian yang tersebar di daerah-daerah seluruh Indonesia juga membuat hilirisasi pertanian tepat untuk menciptakan pemerataan ekonomi. Hal ini berbeda dengan pertambangan yang terkonsentrasi di beberapa tempat saja.
Program hilirisasi pertanian memberikan berbagai manfaat bagi perekonomian diantaranya menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan, meningkatkan nilai tambah, mendorong perekonomian daerah, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong ekspor.
Hal ini sejalan dengan program Asta Cita #5 yaitu melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri serta salah satu program prioritas melanjutkan hilirisasi serta industrialisasi berbasiskan Sumber Daya Alam (SDA) dan maritim untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dalam mewujudkan keadilan ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan, realisasi investasi di bidang hilirisasi Indonesia mencapai Rp407,8 triliun pada 2024, setara 23,8% dari total investasi nasional. Sektor pertanian memberikan kontribusi terbanyak kedua namun didominasi oleh industri minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan oleokimia. Kondisi ini mencerminkan adanya tantangan yang besar dari sektor pertanian khususnya pada sektor pangan.
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh dalam hilirisasi diantaranya terbatasnya kapasitas SDM, sistem kelembagaan yang belum terintegrasi, fluktuasi harga, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku, keterbatatasan sarana dan prasarana teknologi, serta permodalan yang masih terbatas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 menunjukkan, jumlah total UMKM di Indonesia ada lebih dari 64 juta yang berkontribusi sebesar 60% terhadap PDB nasional, namun hanya 12% dari jumlah tersebut yang telah mengadopsi teknologi digital secara efektif.
Ditengarai kendala tersebut salah satunya kecukupan permodalan sehingga kontribusi korporasi kecil dalam hilirisasi masih terbatas tidak hanya dalam menggunakan teknologi digital namun juga teknologi dalam pengolahan yang berdampak pada hasil yang belum optimal.
Sebagai upaya dalam mendukung program hilirisasi, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan perubahan ketiga atas PADG No. 11 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial yang berlaku mulai 1 April 2025.
Dalam perubahan kebijakan tersebut, Bank Indonesia melakukan penyesuaian insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk lebih mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah termasuk sektor Pertanian, Perdagangan, dan Industri Pengolahan sebagai salah satu program hilirisasi non minerba.
Dalam kebijakan KLM terbaru ini, Bank Indonesia telah menetapkan perubahan yaitu cakupan kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor tertentu, penyesuaian besaran KLM pada masing-masing sektor tersebut serta penyesuaian treshold pertumbuhan kredit menjadi 3 level yaitu pertumbuhan kredit dibawah 0%, pertumbuhan kredit diantara 0% sampai dengan 5%, dan pertumbuhan kredit di atas 5%.
Bagi perbankan yang mampu menyalurkan pada cakupan sektor-sektor yang telah ditentukan, akan memperoleh insentif berupa pengurangan giro bank di Bank Indonesia dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun besaran insentif terdapat kenaikan dari semula maksimal sebesar 4%, meningkat menjadi sebesar 5% .
Keseluruhan besaran insentif sebesar 5% tersebut terdiri dari beberapa komponen yaitu Pertama, insentif paling besar 3,2% untuk penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor tertentu (diantaranya hilirisasi). Namun untuk kedua komponen lainnya tidak mengalami perubahan yaitu insentif kepada bank penyalur kredit/pembiayaan inklusif (UMKKM, Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR) termasuk kepada Ultra mikro dan masyarakat unbanked) tetap sebesar 1,3% dan insentif terhadap pembiayaan hijau paling besar 0,5 persen.
Penyesuaian kebijakan tersebut tentunya dapat ditangkap oleh pelaku UMKM untuk berkontribusi dalam pelaksanaan hilirisasi melalui program pengembangan komoditas berbasis klaster. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan batasan plafon untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp500 juta yang dapat diberikan kepada suatu kelompok yang memiliki mitra usaha. Skema ini diberikan kepada kelompok yang dikelola secara bersama dalam bentuk klaster dengan menggunakan mitra usaha untuk komoditas perkebunan rakyat, peternakan rakyat, perikanan rakyat, industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, atau komoditas sektor produktif lain yang bisa dikembangkan menjadi KUR khusus.
Kondisi ini tentunya menjadi angin positif bagi para pelaku UMKM berbasis klaster untuk dapat mengoptimalkan pendanaan dalam memenuhi gap teknologi maupun sumber daya lainnya dalam meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sehingga produk hilirisasi pada sektor pertanian mampu bersaing di pasar global.
Di sisi lainnya, penyaluran kredit KUR kepada UMKM klaster memiliki tingkat risiko lebih terukur bagi perbankan, karena kelompok usaha yang dibiayai memiliki ekosistem dan saluran pemasaran yang jelas sehingga potensi kredit macet relatif lebih rendah. Selain hal tersebut, pembiayaan kredit melalui KUR secara tidak langsung akan meningkatkan tingkat literasi dan inklusi keuangan.
Dengan langkah-langkah sinergis melalui kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama dengan pemerintah, diharapkan mampu mendorong UMKM semakin banyak dalam berpartisipasi dalam program hilirisasi sehingga pemerataan ekonomi dapat terwujud dan mampu menopang ketahanan pangan nasional.
Penulis adalah Analis Yunior KPwBI Purwokerto
Editor : Elde Joyosemito
Artikel Terkait