JAKARTA, iNewsPurwokerto.id – Tanggal 8 Januari 1996 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan militer Indonesia, ketika Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, memimpin langsung operasi pembebasan 26 warga negara asing (WNA) yang disandera oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Desa Mapenduma, Papua.
Para sandera merupakan peneliti Ekspedisi Lorentz 95 yang diculik oleh kelompok bersenjata OPM pimpinan Kelly Kwalik di wilayah terpencil Kabupaten Jayawijaya.
Untuk menanggapi situasi genting tersebut, Prabowo membentuk satuan pelacak jejak elite bernama Tim Kasuari, beranggotakan personel Kopassus dan Kodam Cenderawasih, yang semuanya adalah putra asli Papua.
Salah satu tokoh kunci dalam operasi ini adalah Serka Bayani, prajurit Kopassus asal Papua yang dikenal dengan kemampuan luar biasa dalam membaca jejak dan melakukan infiltrasi.
Bahkan, menurut Prabowo, Bayani kerap menjalankan misinya tanpa alas kaki dan hanya mengenakan celana pendek demi menyatu dengan alam.
Ketangguhan Bayani terbukti ketika ia berhasil masuk ke wilayah musuh tanpa terdeteksi dan merebut lebih dari 100 pucuk senjata dalam berbagai operasi sebelumnya.
Prabowo menyebut Bayani sebagai prajurit berani, tenang, dan sangat ahli dalam medan tempur Papua.
"Bayani adalah contoh kecerdasan lokal yang tak tergantikan oleh teknologi," ungkap Prabowo dalam catatannya.
Operasi Mapenduma dihadapkan pada tantangan besar. Minimnya peralatan pengintai, seperti satelit dan drone, ditambah ketiadaan peta topografis akurat, membuat pengambilan keputusan menjadi sangat riskan.
Saat itu, TNI hanya mengandalkan peta buatan tangan dan analisis intelijen lapangan.
Menjelang operasi dimulai, tim dari Inggris yang ikut memantau situasi melaporkan telah menyelundupkan alat pemancar sinyal (beacon) saat mengirim bantuan melalui Palang Merah Internasional.
Sinyal dari beacon tersebut mengarah ke koordinat baru yang tidak masuk dalam enam titik sasaran awal tim intelijen.
Namun, Prabowo menghadapi dilema: apakah akan mengikuti koordinat berdasarkan teknologi asing, atau tetap berpegang pada hasil analisa timnya? Ia lantas memanggil Serka Bayani untuk menilai informasi tersebut.
Dengan tegas, Bayani menolak lokasi baru itu. Ia menyebut tempat itu terlalu tinggi dan tidak memiliki sumber air, sehingga mustahil digunakan sebagai tempat penampungan sandera.
“Jangankan Kelly Kwalik, monyet pun tidak mau tinggal di situ,” ujar Bayani dengan logat khas Papua, yang menurut Prabowo hingga kini masih terngiang jelas dalam ingatannya.
Keyakinan Bayani menjadi penentu. Prabowo akhirnya memutuskan tetap melaksanakan serangan ke enam titik sesuai data intelijen internal.
Operasi berjalan lancar dengan dukungan enam helikopter serbu. Hasilnya, para sandera berhasil dibebaskan, meski tiga di antaranya ditemukan telah tewas dibunuh penyandera.
Operasi Mapenduma tercatat sebagai salah satu operasi militer paling kompleks yang pernah dilaksanakan TNI, dan menjadi bukti peran penting prajurit lokal seperti Serka Bayani dalam keberhasilan misi.
Di sisi lain, keputusan Prabowo yang lebih memercayai intuisi anak buahnya ketimbang teknologi asing menjadi cerminan filosofi kepemimpinan lapangan yang mengakar pada kepercayaan dan pemahaman terhadap medan.
Kini, lebih dari dua dekade kemudian, kisah ini tetap dikenang sebagai salah satu contoh keberhasilan operasi penyelamatan sandera yang melibatkan kerja sama erat antara pasukan elite dan kearifan lokal.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait