Bagi Ika, ia sangat bangga dan terharu melihat perjuangan Slamet dalam menafkahi keluarganya. “Luar biasa tangguh pak Slamet ini. Sebagai seorang laki-laki yang (mohon maaf) tidak bisa melihat sejak kecil, tapi ia bahagia dan mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap keluarganya. Ini sangat menginspirasi bagi kita semua yang sehat dan harus lebih semangat dan lebih bersyukur lagi,” tambah Ika, haru.
Untuk kepesertaan BPJS ketenagakerjaan, saat ini masih sedang ditanyakan oleh pihak kecamatan. Sedangkan terkait kartu penderes, pak Slamet sudah terdaftar cukup lama.
Saat ini Slamet tinggal dirumah sederhana bersama Tuniyem (50), sang istri. Untuk membantu menambah penghasilan, Tuniyem setiap hari pergi ke hutan wilayah perhutani untuk menanam atau memetik ketela pohon, pepaya dan lain-lain yang ia tanam. Pasangan Slamet dan Tuniyem dikarunia lima anak. Yang terdekat, satu masih sekolah Madrasah Tsanawiyah Tambak, dan satunya mondok di Pesantren Kauman, Tambak. Sementara anak-anak lainnya sudah bekerja di luar kota dan berumah tangga.
Jalan menuju rumah Slamet memang tidak mudah. Kondisi menanjak dengan jalan desa yang kurang memadai, membuat perjalanan menuju rumah Slamet cukup memakan waktu. Ditemani istrinya, Slamet menemui tamunya dari kecamatan. Saat diminta mempergakan naik pohon kelapa, dengan senang ia pun memanjat pohon kelap miliknya.
Slamet mengaku pernah bisa melihat saat ia masih kecil. Namun ia lupa saat umur berapa ia mengalami kebutaan. “Saya pernah bisa melihat saat masih kecil, tapi saya lupa saat itu umur berapa. Saya juga lupa penyebab kebutaan yang saya alami,” kata Slamet.
Kebutaan bagi Slamet bukanlah akhir segalanya. Meski tidak bisa melihat, ia berprinsip jika semua sudah menjadi ketetapan-Nya. “Saya pasrah sudah tidak bisa melihat. Namun saya tidak boleh pasrah dalam menjalani hidup ini. Bagi saya sebagai kepala keluarga, bekerja adalah jihad besar. Saya akan terus memanjat pohon kelapa untuk menderes nira sampai ujung kemampuan saya,” tegas Slamet penuh semangat.
Slamet sungguh menginspirasi kita semua. Di tengah keterbatasnnya, ia kokoh dan terus menapakkan kaki-kakinya di tataran batang pohon kelapa. Tangan yang kuat, kaki yang kokoh dalam modal utama memanjat pohon-pohon kelapa.
Angin berhembus semilir terus bertiup disore hari di Desa Watu Agung. Slamet sudah beristirahat di teras rumahnya. Teh panas dan singkong rebus yang disajikan sang istri sedang ia nikmati. Angin semilir sepertinya membawa pesan untuknya, “Berjalanlah hingga kaki-kakimu terluka oleh tajamnya duri, karena itu pertanda wanginya mawar akan kau dapatkan.” – Maulana Jalaluddin Rumi.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait