Asal-usul Tradisi Gowok, Warisan Kamasutra Jawa dalam Budaya Kuno

Avirista Midaada/Arbi Anugrah
Asal-usul Tradisi Gowok, Warisan Kamasutra Jawa dalam Budaya Kuno. Ilustrasi: KITLV Leiden

Lebih lanjut, Latif menjelaskan bahwa keterbatasan akses informasi dan dakwah agama menjadi alasan utama mengapa tradisi Gowok bertahan di daerah pedalaman lebih lama daripada wilayah pesisir yang terbuka terhadap pengaruh luar.

“Fenomena ini hanya terjadi di kawasan pedalaman, seperti daerah Ngapak Banyumasan, Temanggung, dan Cilacap bagian dalam bukan di kawasan pesisir selatan yang lebih mudah diakses. Ini adalah fenomena sosial yang sifatnya lokal,” ungkapnya.

Daerah pesisir seperti Pantura (Pantai Utara Jawa) lebih cepat menerima pengaruh ajaran agama dan budaya asing, yang membuat tradisi seperti Gowok tidak bisa berkembang.

“Penyebaran agama di pedalaman berlangsung lebih lambat dibandingkan di Pantura. Karena itu, tradisi-tradisi lokal seperti Gowok masih bisa bertahan antara tahun 1900 hingga 1950-an,” tambahnya.

Pria Muda vs Gowok si Wanita Matang

Latif juga menyoroti bahwa pria yang mengikuti pendidikan ini umumnya berusia 20-an tahun atau memasuki usia siap menikah. Sementara itu, perempuan yang berperan sebagai Gowok adalah wanita dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun, dan sudah memiliki pengalaman rumah tangga.

“Meski belum ada data tertulis yang valid, dari informasi yang kami himpun, usia perempuan yang menjadi Gowok berkisar antara 20 hingga 40 tahun, dan mereka bertugas ‘mendidik’ laki-laki yang akan menikah,” pungkasnya.

Editor : Aryo Arbi

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network