Program MAMAKU SIGAP lahir sebagai solusi atas permasalahan lingkungan di wilayah pesisir yang minim infrastruktur pengelolaan sampah.
Di Kutawaru, yang dikelilingi kawasan perairan Segara Anakan, warga terbiasa membakar atau membuang sampah ke sungai karena tidak tersedianya Tempat Penampungan Akhir (TPA). Dampaknya, hutan dan ekosistem air tercemar.
Hadirnya bank sampah tak hanya membantu mereduksi limbah—dengan capaian 1–1,5 ton sampah anorganik dan 4–5 ton sampah organik per tahun—tetapi juga mendukung penggunaan energi bersih melalui instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 6.600 Wattpeak (Wp).
Secara ekonomi, program ini turut meningkatkan pendapatan masyarakat. Kelompok warga memperoleh penghasilan dari hasil daur ulang sampah anorganik sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan, dari kompos sampah organik mencapai Rp 2 juta per bulan, serta Rp 1 juta–Rp 1,5 juta per bulan dari unit usaha warung sampah.
Di sektor sosial, Cecep menjelaskan bahwa program ini telah menjadi pusat edukasi dan riset pengelolaan sampah terpadu, sekaligus memperkuat kapasitas 30 anggota aktif bank sampah.
Tak hanya itu, MAMAKU SIGAP juga membuka ruang pemberdayaan bagi 30 perempuan eks Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan mantan Anak Buah Kapal (ABK), serta menjadi model perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.
Kontribusi program ini turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada target tanpa kemiskinan, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi layak, energi terjangkau dan bersih, serta pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.
“Kami berharap, melalui program ini, masyarakat tak hanya lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga mampu mandiri secara ekonomi dan sosial,” tutup Cecep.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait