Selain itu, juga ada program pelatihan usaha, digital marketing, dan sanitasi lingkungan, penyediaan fasilitas pendukung seperti gerobak seragam, tenda estetis, serta toilet umum dan pemanfaatan teknologi digital berbasis lokasi untuk memantau dan mengelola aktivitas PKL secara real-time.
Selain langkah teknis, penataan ini juga mengadopsi prinsip-prinsip perencanaan kota modern, seperti mixed-use development, zonasi fleksibel, urban acupuncture, hingga pengelolaan digital berbasis data.
Model semacam ini telah terbukti efektif di sejumlah kota besar di Asia seperti Seoul dan Bangkok, serta contoh domestik seperti kawasan Malioboro, Yogyakarta.
“Penataan Malioboro adalah bukti bahwa PKL bisa hidup berdampingan dengan estetika kota. Kuncinya adalah kolaborasi dan manajemen yang bijak,” ujar Arinugraha.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa setiap kebijakan penataan harus dilandasi kajian mendalam. Mulai dari alasan PKL memilih berdagang di trotoar, aksesibilitas lokasi baru, hingga kelayakan ekonomi di shelter relokasi. Kajian ini, menurutnya, idealnya melibatkan akademisi, pemerintah, dan para pelaku UMKM secara langsung.
“Penataan PKL tidak bisa hanya dilihat sebagai penertiban semata. Ini bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi di ruang publik,” tegasnya.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait