Menurut Wachid, puisi Asia Tenggara berakar kuat pada tradisi lisan seperti pantun, syair, gurindam, dan kidung yang berfungsi sebagai arsip kultural.
Namun, ia juga berkembang menjadi ruang perlawanan sejak masa kolonial hingga pascakolonial, menyuarakan aspirasi rakyat kecil yang kerap terpinggirkan.
“Puisi adalah tafsir zaman. Ia tidak hanya mengabarkan, tetapi juga memberi makna. Dengan puisi, manusia diajak merenung, menemukan harapan, sekaligus melawan keputusasaan,” tegasnya.
Wachid juga menyoroti pentingnya solidaritas Global Selatan. Menurutnya, puisi dari Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika Latin terhubung oleh pengalaman bersama menghadapi kolonialisme, kemiskinan struktural, dan ketidakadilan global.
Keterlibatan Wachid dalam SAKAT 2025 mempertegas kontribusi Indonesia dalam percaturan sastra regional.
Ia mengingatkan, sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, sastra Indonesia telah menjadi bagian dari gerakan kultural Global Selatan yang menghadirkan suara alternatif bagi peradaban dunia.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait
