PURBALINGGA, iNewsPurwokerto.id – Sebuah kisah yang menyayat dan menggugah empati diangkat ke layar lebar melalui film Judheg (Penat / Worn Out), karya terbaru sutradara muda Misya Latief.
Film berdurasi 117 menit ini diproduksi oleh Rekam Films bekerja sama dengan Triangle Cinema, dengan dukungan dari Belantara Films, SVJ Films, dan Hade Rent.
Film yang akan melakukan world premiere di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-20 tahun 2025 ini menjadi salah satu kandidat Indonesian Screen Awards.
Menariknya, Judheg menjadi film panjang pertama dari Banyumas Raya yang menggunakan bahasa Banyumasan (Ngapak) sebagai bahasa utama, sekaligus melibatkan pemain dan kru yang seluruhnya berasal dari Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.
Film Judheg berkisah tentang Warti (Darti Yatimah), gadis berusia 16 tahun yang sudah menjadi ibu muda di tengah tekanan ekonomi dan sosial. Di tengah kemiskinan dan gizi buruk, ia berjuang menyusui bayinya, Cahyo (Adzfar Al Kautsar), meski ASI-nya tak keluar karena stres dan kelelahan.
Sementara itu, suaminya Supri (Sigit Blewuk) justru larut dalam judi online dan kekerasan rumah tangga. Di balik tumpukan bulu mata palsu yang ia rangkai untuk bertahan hidup, Warti harus menentukan langkah besar dalam hidupnya—bertahan dalam rumah tangga yang beracun atau menyelamatkan diri bersama anaknya.
Menurut Misya Latief, Judheg diangkat dari realitas sosial yang banyak ditemui di desa-desa Jawa Tengah, khususnya Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, tempat film ini mengambil latar.
“Pernikahan dini merenggut masa remaja bagi banyak perempuan muda di pedesaan. Mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Judheg adalah kisah tentang tubuh perempuan yang menyimpan luka, lelah, dan sekaligus kekuatan,” ujar Misya Latief, yang juga pendiri Rekam Films.
Misya menjelaskan, fenomena pernikahan dini bukan sekadar isu lokal, tetapi masalah nasional yang serius. Berdasarkan data childmarriagedata.org, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dengan 25,5 juta kasus pernikahan anak di bawah 18 tahun, setelah India, Bangladesh, dan Tiongkok.
Editor : Elde Joyosemito
Artikel Terkait
