Film Judheg, Cermin Getir Pernikahan Dini dan Perjuangan Ibu Muda di Tengah Kemiskinan

Elde Joyosemito
Sebuah kisah yang menyayat dan menggugah empati diangkat ke layar lebar melalui film Judheg karya terbaru sutradara muda Misya Latief. (Foto: Istimewa)

“Banyak kasus terjadi di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Ketika ekonomi menjadi alasan utama, pernikahan dini dianggap jalan keluar, padahal justru menimbulkan persoalan baru, dari kekerasan rumah tangga hingga gangguan kesehatan mental ibu muda,” jelas Misya.

Film ini, lanjutnya, menjadi bentuk keprihatinan dan seruan agar publik lebih peka terhadap dampak sosial pernikahan dini. “Lewat Judheg, saya ingin mengajak penonton melihat sisi manusiawi dari persoalan ini. Di balik kemacetan ASI, ada kelelahan batin yang luar biasa, tapi juga keteguhan seorang ibu muda yang memilih bertahan hidup demi anaknya,” ujarnya.

Produser Yuda Kurniawan menegaskan bahwa Judheg bukan sekadar drama, tetapi juga media edukasi bagi masyarakat, khususnya remaja dan orang tua. Ia menyebut pernikahan dini sebagai cerminan dari rendahnya kesadaran pendidikan dan kemiskinan struktural di berbagai daerah Indonesia.

“Fenomena pernikahan dini berulang karena masih banyak keluarga yang menganggap menikahkan anak adalah solusi untuk lepas dari beban ekonomi. Padahal, dampaknya sangat luas, mulai dari perceraian, kekerasan, hingga kematian ibu dan bayi,” tutur Yuda.

Ia menambahkan, lewat pendekatan sinema yang berakar pada kehidupan masyarakat desa, Judheg diharapkan mampu memberi nilai lebih bagi penonton nasional maupun internasional. “Kami menghadirkan kehidupan masyarakat Purbalingga secara nyata, lengkap dengan bahasa, aktivitas, dan panoramanya. Ini bukan hanya soal film, tetapi tentang identitas dan kesadaran sosial,” imbuhnya.

Salah satu kekuatan Judheg adalah penggunaan bahasa Banyumasan (Ngapak) sebagai bahasa utama. Keputusan ini tidak hanya memberi warna lokal yang autentik, tetapi juga menjadi pernyataan kebanggaan terhadap bahasa ibu.

“Bahasa Ngapak sering dianggap lucu, tapi lewat Judheg kami ingin menunjukkan bahwa bahasa ini bisa membawa pesan yang dalam dan emosional,” ujar Misya Latief.

Dengan melibatkan seluruh pemain dan kru dari wilayah Banyumas Raya, Judheg menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi kreatif lokal dapat melahirkan karya berkelas nasional.
 

Editor : Elde Joyosemito

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network