Berdiri 1980, Ini Kisah Perjalanan Bioskop Purwokerto yang Pertahankan Poster Lukisan di Era Digital

Arbi Anugrah
Berdiri tahun 1980, bioskop Rajawali Cinema telah melalui banyak perjalanan hingga bertahan sampai saat ini, apalagi diera digital seperti sekarang ini. (Foto: Arbi Anugrah)

Dia mengungkapkan jika bioskop ini benar-benar berjuang dan merasakan naik turunnya. Bahkan seringkali film yang ditayangkan telat tayang karena masih menggunakan klise film.

"Jadi bioskop ini bener bener berjuang, naik turun. Mungkin kalau dulu itu film kita selalu telat, karena kita belum digital, saat itu masih semacam klise untuk memutar filmnya, terus semakin kesini, mungkin anak anak beliau (owner Rajawali) sudah pada besar-besar, sudah kuliah dan sudah bekerja, lalu mungkin mereka istilahnya rembukan keluarga, karena Rajawali milik keluarga besar, jadi mereka rembukan bagaimana Rajawali biar ramai terus," ujarnya.

Hingga akhirnya, bioskop Rajawali sharing dengan 21 Cinema agar dapat bertahan. Rajawali pun akhirnya mengubah semua peralatan lamanya dengan mesin pemutar berbasis digital dan menjadi jaringan dari 21 Cinema.

"Lalu mereka sharing dengan 21 cinema, lalu sama 21 di support, kalau pingin ramai harus berani ganti mesin ke digital, lalu akhirnya mau disupport, terus sekarang kita akhirnya jadi jaringannya 21. Makanya kita filmnya juga update, jadi kalau ada film apa di Indonesia kita sama ikut tayang. Lalu managemennya juga dirubah sama anak-anak almarhum biar jadi lebih baik lagi. Misal eranya lagi ramai facebook ya kita ada facebook, terus sekarang facebook sudah agak berkurag dibanding Instagram, sekarang alhamdulilah Instagram kita ramai," ungkapnya.

Berbeda dengan cara promosi saat masih menggunakan mobil publikasi, di mana saat itu hanya cara satu-satunya bioskop ini menawarkan filmnya. Publikasinya pun hingga ke Kabupaten tetangga seperti Cilacap, Banjarnegara, Kebumen, Purbalingga.

"Kalau dulu kita publikasinya masih menggunakan mobil keliling, bahkan kita sampai ada dua mobil. Misalnya yang satu kerah barat dan yang satu kearah timur, jadi jangkauannya lebih luas. Tapi memang semakin kesini era digitalnya lebih maju, mereka lebih melihat ke handphone, jadi sekarang kita lebih mempromosikan filmnya di Instagram, di facebook karena sudah lebih efektif, dan untuk mobil publikasinya sekarang sudah kurang efektif jadi kita hentikan," jelasnya.

Namun yang menarik dari bioskop Rajawali dan tetap dipertahankan adalah sosok pelukis dan poster lukisan film. Pelukisnya sendiri adalah Parsan (56).


Sosok pelukis poster film, Parsan (56). (Foto: Arbi Anugrah)

Dia menjelaskan jika Parsan telah bekerja sebagai karyawan sebelum dirinya masuk. Sebelum Parsan melukis poster film, Rajawali memiliki pelukis lain, namun karena sakit akhirnya digantikan oleh Parsan.

"Sebelumnya pak parsan itu memang ada, tapi sudah sepuh (sudah tua) jadi keluar, sama cucu nya juga dibilang sudah jangan kerja, akhirnya diganti pak Parsan, tapi sebelumnya ini pak Parsan ini sudah belajar, jadi kayak belajar ngikutin," ucapnya.

"Ternyata tadinya gambarnya biasa, tapi pak Parsan itu orangnya senang belajar, jadi semakin lama gambarnya itu memang hidup, saya saja merasakan, gambarnya itu hidup, tidak yang seperti lukisan yang kita gambar itu kaku hasilnya, kalau pak Parsan tidak. Saya saja kadang lihat film horor itu jadi takut sendiri, menatap terus kan, dia (Parsan) malah seneng kalau bikin film horor, kan bener bener angker, terus yang kemarin seperti berdarah darah, itu kalau dilihatin terus takut, karena gambarnya hidup seolah olah kayak cerita, kalau saya melihatnya seperti itu," ceritanya.

Ia pun mengakui jika banyak penonton yang terkesima dengan cara Rajawali mempertahankan poster lukisan film. Kebanyakan penonton dari luar kota yang kadang merasa aneh di era seperti saat ini masih ada bioskop yang mempertahankan banner promosinya dengan lukisan.

"Sebenarnya kebanyakan dari luar kota, seperti dari Jakarta itu misalnya datang kesini karena mereka itu belum pernah, nah kalau ke sini lihat atas (lukisan poster film) kayak aneh, artinya dalam hati saya mungkin lebih pada bangga. ‘ih beda lho mba, di Jakarta tidak ada yang kayak begini, adanya begitu’ seperti itu. Lalu mereka foto-foto, ada juga yang bilang supaya dipertahankan. Karena kalau liburan banyak dari luar kota yang datang, begitu turun mobil langsung lihat atas langsung foto-foto dan nanya nanya, saya seneng jadi kayak gimana rasanya," ujarnya.

Editor : Arbi Anugrah

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network