Kemudian pada 1857 dia pindah di sisi tenggara Sungai Ciliwung, tepatnya di Kampung Gunungsari (sekarang di antara Jalan Samanhudi dan Jalan Dr Sutomo). Lantas dua tahun berikutnya, yakni tahun 1859 Raden Saleh menempati rumah barunya di Cikini.
Pada hari Jumat, 10 Juni 1866, di rumah Cikini itu, Raden Arjo Sastro Darmo yang datang bersama seorang Belanda melihat-lihat koleksi barang antik milik Raden Saleh. Benda-benda kuno itu sengaja dipamerkan dan sebelumnya banyak dikunjungi orang-orang Belanda. Keduanya diajak masuk ke dalam sebuah kamar yang penuh dengan barang antik yang tertata rapi sesuai klasifikasinya.
Keris dikelompokkan dengan keris, pedang dengan pedang, sabit dengan sabit dan lain sebagainya. Pendek kata, pada deretan senjata tajam terdapat koleksi senjata penusuk dan senjata pembacok, seperti keris, tombak, parang, pedang pendek, arit, pisau potong dan lain sebagainya. Kemudian di atas meja diletakkan arca-arca purbakala, arca Budha, naskah daun lontar (serat karopak) dan naskah yang ditulis di atas kertas.
Ada juga perhiasan, mulai gelang, kalung dalam jumlah besar dan beragam. Lalu benda-benda dari kayu, meliputi tongkat, tulang-tulang, mineral serta batu-batu berbentuk aneh. “Semua disusun dalam sebuah pameran,” tulis Raden Arjo Sastro Darmo.
Raden Saleh memperoleh semua barang antik itu dari perjalanan ke Jawa Tengah pada tahun 1865. Barang-barang itu berasal dari para aristokrat di Yogyakarta dan Surakarta. Para bangsawan atau priyayi Jawa yang sebelumnya takjub dengan gaya Belanda Raden Saleh, dengan suka rela menyerahkannya, bahkan tak sedikit membantu mencarikan.
Ada yang memberikan kepada Raden Saleh sebagai hadiah cuma-cuma. Ada pula yang berharap barang-barang antik itu terutama naskah-naskah kuno, selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Raden Saleh sendiri gemar menyalin naskah kuno dengan biaya sendiri dan mengembalikan naskah yang asli ke pemiliknya.
Editor : Arbi Anugrah