Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Saat kongres digelar, suasana ketidakpuasan sempat menyelimuti para peserta yang tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tidak bereaksi dengan masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.
Jenderal Soedirman juga tidak kalah garang. dia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) dari pada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Dalam penelusuran iNewsPurwokerto.id, selama berada di Kota Purwokerto, Tan bersahabat dengan Slamet Gandawijaya. Tokoh Murba kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 yang menjadi penyandang dana terbesar dalam kongres tersebut, Tan yang menumpang di rumah Slamet mendapatkan kamar khusus.
Di rumah Slamet Gandawijaya yang berada di Jalan Balai Desa Patikraja, Kecamatan Patikraja, Banyumas atau sekitar 30 meter dari jalan utama Patikraja-Purwokerto, Tan selalu menginap dan kerap bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Meja makan dan kursi yang digunakan Tan untuk berdiskusi dengan Soedirman masih terawat hingga saat ini.
Rumah bersejarah itu sudah beberapa kali mengalami renovasi dan berada di lingkungan padat penduduk. Saat ini, rumah tersebut dihuni oleh keturunan Slamet Gandawijaya.
Kala itu, dibandingkan tetangga-tetangganya, fasilitas di rumah Slamet bisa terbilang lengkap, karena pada zaman tersebut, Slamet sudah memiliki telepon dan garasi mobil. Bahkan penduduk setempat menganggap keluarga tersebut sebagai keluarga ningrat dan sering memanggil Slamet dan tiga anaknya dengan panggilan 'Den'.
Karena aktif dalam gerakan kiri dan menentang Belanda, Slamet sempat menjalani Digul (diasingkan). Selama Slamet menjalani Digul, keluarga tersebut hidup sangat prihatin ketika penjajahan, apalagi saat Belanda sering mendatangi rumahnya.
Editor : Arbi Anugrah