DUA pemuda masing-masing Nurcholis Wijianto dan Adam Fauzi memimpin arak-arakan napak tilas Kesenian Jawa Purba (KJP) di Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga.
Arak-arakan itu diikuti oleh pelakon seni tetapi juga perwakilan 21 Kelompok Rukun Tetangga (RT). Mereka menampilkan versi terbaik dari tumpeng yang ikut di arak dalam napak tilas tersebut, segala makanan yang sudah sangat jarang dijumpai seperti cingkokah, pelas tawon (pelas lebah), nasi jagung dan lainnya menghiasi tumpeng tumpeng tersebut.
Nurcholis memaparkan bahwa tumpeng dalam filosofis jawa “tumapaking panguripan–tumindak lempeng-tumuju pangeran dimana memiliki arti“ atau tertatanya hidup, berjalan lurus kepada Tuhan” dengan simbolis nasi mengerucut keatas.
Dandanan unik tempo dulu dengan peserta lebih dari 350 orang warga menghiasi perarakan tersebut dari mulai para pemuda jawara, tukang nderes, sinden, petani lancingan, ibu-ibu dengan perlengkapannya ke kebun meyemarakkan suasana hari itu.
Berbagai pengunjung pun hadir dari Purbalingga, Semarang, Purwokerto, Jakarta dan Bandung. Menariknya, para pengunjung mengenakan pakaian jawa sesuai dengan arahan panitia. “Hal ini menjadi titik awal yang baik bagi Kesenian Jawa Purba menarik wisatawan domestik untuk menikmatinya, serta berharap menjadi satu event tahunan Purbalingga,”kata Gita Thomdean Selaku wakil ketua panitia dan konseptor KJP.
Sementara Slamet Santosa selaku ketua panitia mengatakan Bahwa KJP adalah titik awal kebangkitan seni dan budaya Desa Sidareja Purbalingga terlepas dari keterbatasan bahwa Desa masih masuk dalam zona kuning perekonomian.
Warung RT pada hari pertama mengalami respon cukup baik hampir 90% terjual habis dari 21 Warung RT Jawa Purba. Ia juga menceritakan bahwa arakan napak tilas tersebut mengunjungi tiga tempat yakni petilasan Watu Peninisan berawal dari cerita legenda Desa Sidareja dengan adanya tokoh bernama Kayu Wayang Raja Ingas beliau dipercaya seorang sosok yang sering melakukan “HENING” diatas batu punden didekat sebuah sungai peninisan.
Batu Punden itu kini masih ada di pinggiran sungai dengan bentuknya yang seperti meja altar .
Pagelaran seni di Desa Sidareja. (Foto Dok Panitia)
Dalam persembunyiannya akhirnya beliau melakukan “hening” di atas batu bersoleh dan juga jaran atau kuda yang ditungganginya ini selalu ada disisinya dengan menempatkan tali pengendalinya di sebuah batu, yang saat ini dikenal dengan watu Jaran.
Tidak hanya sosoknya yang dikatakan sakti tetapi kudanyapun dipercaya juga memiliki kesaktian. Hal ini dibuktikan oleh seorang lurah yang berkuasa 39 tahun lamanya dan selalu menang dalam pertandingan kuda di kota Purbalingga .
Tempat yang ketiga adalah Makom Kyai Mbah Hasan Toyib merupakan tokoh islami yang melakukan penyebaran islam pertama kali di desa ini.
Sementara tarian kolosal Kemenangan Jawa Purba oleh Gianta Arum menjadi akhir dari napak tilas yang sangat semarak dan diperindah dengan penampilan puluhan pemuda Sidareja didalam Grup ini.
Kesenian Jawa Purba menyuguhkan pemandangan pedesaan yang elok nan sejuk dan beberapa sudut desa menjadi berbeda dengan kain putih yang menghiasi kanan dan kiri jalan bahkan pohon pohon juga terbalutkan dengan kain putih, di mana dalam Jawa warna putih melekat dengan makna kebersihan, kesucian, kepolosan, keluguan, kejujuran, pemaaf, cinta dan terang.
Keriuhan Pasar Jawa Purba di Desa Sidareja dengan 21 Warung yang menjajakan makanan khas jawa purba ramai dikunjungi oleh pengunjung kesenian jawa purba sebagai penggambaran pasar tradisional yang pada jawa terdahulu menjadi ajang komunikasi antar warga bahkan sebagai tempat kesenian.
Warga ikut serta dalam pagelaran KJP
Slamet Santosa sebagai team artistik pada malam Kksenian Jawa Purba ini memaparkan bahwa konsep pertunjukkan malam kesenian dibuat diawal dengan sangat dramatis karena ingin memberikan kesakralan pada penampilan Tari Ujungan yang memiliki nilai historis dalam lahirnya Desa Sidareja sehingga permainan lighting dan lantunan lagu “Amiwiti Pagelaran Kesenian Jawa Purba” oleh para tetua desa pun menjadi sangat sakral.
Laela Nindya Lasyarika juga memaparkan bahwa uniknya dalam pertunjukkan ini para penabuh karawitan membawakan 70% adalah lagu ciptaannya sendiri yang dipelajari selama 2 tahun dari pemuda yang belum pernah mendalami seni karawitan. Selain itu penampilan dihiasi dengan geguritan, tari ebeg tunggal kreasi, tari baladewa dan masih banyak lagi.
Akhir dari pertunjukan seni kolosal 21 jam dalam sesi Kebhinekaan terlantunlah puji pujian Hadroh dalam kolaborasi indah dalam empat kelompok menandakan keberagaman yang ada di desa dapat menjadi persatuan yang indah.
Selain itu juga terlihatlah bersatunya 3 Kelompok seni Kuda Kepang untuk pertama kalinya setelah sekian puluh tahun. Sebuah persatuan yang indah dengan tampilan yang juga unik karena selain melakukan atraksi ebeg juga diperkenalkan juga atraksi putri putrian dimana berubahnya seorang kesatria dalam Bandan atau anyaman bambu besar setinggi 3 meter bentuknya seperti kurungan ayam raksasa yang dilapisi kain batik dimana akhirnya ksatria tersebut berubah menjadi putri.
Ada juga pameran karya seni lukis hasil karya Pemuda Desa Dari Komunitas Kie Kartun garapan Slamet Santosa juga mewarnai Kesenian Jawa Purba, Goresan Lukisan dan karakter yang kuat setiap pelukis desa ini menjadi hal yang istimewa ditampilkan ujar Arty seorang pendatang dari Jakarta.
“Harapan dari seluruh masyarakat desa dan juga pelakon seni, bahwasannya desa ini akan menjadi Desa Seni Budaya yang kuat,”kata Kepala Desa Sidareja Suminto.
Dengan demikian, akan memberikan dampak positif bagi perekonomian warga.
Editor : EldeJoyosemito