get app
inews
Aa Read Next : 5 Pekerja Tersengat Listrik saat Pasang Tiang Internet di Purbalingga, Polisi: 1 Meninggal Dunia

Mengenal Fenomena Quiet Quitting dalam Dunia Kerja, Benarkah Bentuk Perlawanan Para Pekerja

Selasa, 04 Oktober 2022 | 14:38 WIB
header img
Ilustrasi Fenomena Quiet Quitting.(Foto:Ist)

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Fenomena Quiet Quitting belakang ini ramai diperbincangkan. Benarkah Quiet Quitting merupakan bentuk perlawanan para pekerja dari sistem kerja berlebihan?

Dalam dunia kerja, menuruti apa yang diperintahkan atasan memang merupakan suatu kewajiban. Tapi, ketika pekerjaan yang diberikan tidak sesuai kemampuan dan diberikan terus menerus tanpa adanya kebijakan penyesuaian gaji, tentu saja tidak adil untuk karyawan tersebut.

Maka tak heran, jika tagar quiet quitting belakangan ini mengemuka sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang berlebihan, hal itu pun disuarakan terutama di TikTok. Istilah quiet quitting pertama kali muncul di media sosial pada awal 2022.

Quiet quitting sendiri menggambarkan fenomena karyawan yang menolak bekerja melebihi tanggung jawab mereka. Melalui quite quitting, orang-orang ingin menyuarakan pentingnya memberikan batasan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi. 

Seperti dilansir dari KlikDokter, agar lebih paham terkait arti, penyebab, dan dampak quiet quitting pada kesehatan mental.

Mengenal Fenomena Quiet Quitting

Fenomena yang kini menjadi tren, awalnya banyak dipromosikan oleh karyawan yang memiliki beban kerja berintensitas tinggi. Media sosial lantas membuat tren quiet quitting hingga banyak orang yang merasa senasib ikut tergerak menyuarakan semangat quiet quitting.

Menurut Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog, orang yang melakukan quiet quitting tidak resign dari pekerjaannya. Namun mereka hanya membatasi diri untuk tidak bekerja secara berlebih dan melakukan apa yang menjadi tugasnya saja.

Sementara menurut Paula Allen dari Research and Total Wellbeing at LifeWorks, orang yang melakukan quiet quitting enggan melakukan kerja lembur. Mereka juga tidak membalas email di luar waktu kerja.

“Ciri orang yang melakoni quiet quitting berikutnya, yaitu bekerja dan pulang tepat waktu. Lalu, mereka cenderung tidak berminat dengan promosi jabatan sehingga tidak melakukan usaha berlebih untuk mendapatkannya,” kata Paula.

Penyebab seseorang melakukan quiet quitting, di antaranya:

1. Efek Pandemi Berkepanjangan

Efek pandemi Covid-19 yang berkepanjangan dinilai bisa mendorong seseorang melakukan quiet quitting. Rasa bosan, kecemasan, dan stres selama menjalani work from home bisa menyebabkan seseorang merasa perlu melakukan quiet quitting.

2. Upah yang Tidak Seimbang

Lewat tren quiet quitting, makin banyak pekerja yang sadar bahwa upah mereka tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dipenuhi. Perusahaan terus mengupayakan tambahan pekerjaan, tetapi tidak memberikan imbalan ataupun bonus yang sepadan. Hal ini mendorong banyak orang menggalakkan quiet quitting.

3. Konflik Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi

Popularitas tren quiet quitting menunjukkan ada banyak orang yang lelah menjalani rutinitas pekerjaan yang padat, tetapi di saat bersamaan tidak leluasa menjalani kehidupan pribadi. Ada banyak orang yang membutuhkan jeda dan waktu istirahat dari pekerjaannya untuk dapat menata hidup. Jeda juga diperlukan agar bisa lebih siap bekerja di keesokan harinya.

4. Bekerja Berlebihan

Kenyataannya, ada banyak karyawan yang bekerja di luar kontrak yang telah disepakati. Hal ini dilakukan perusahaan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan bisnis.

Orang yang melakukan quiet quitting akan memilih untuk tidak melakukan tugas-tugas di luar tanggung jawab mereka. Mereka umumnya tidak bersedia bekerja hingga larut malam, datang lebih awal ke kantor, ataupun menghadiri pertemuan di luar pekerjaan.

5. Kurang Dihargai

Elena Touroni, PhD., konsultan psikologi sekaligus pendiri the Chelsea Psychology Clinic, mengatakan perubahan sikap yang terjadi pada pekerja bisa disebabkan mereka merasa pekerjaannya kurang dihargai.

Menurutnya, ada banyak pekerja yang merasa telah berusaha memenuhi ekspektasi atasan dan perusahaan, tetapi kurang mendapatkan penghargaan, baik dalam bentuk bonus, tambahan gaji, maupun pengakuan. Perlahan, kondisi ini bisa merusak mental dan mengikis motivasi dalam bekerja sehingga mereka melakukan quiet quitting.

Artikel ini telah tayang di Okezone dengan judul "Viral Tren Quiet Quitting, Bentuk Perlawanan Para Pekerja dengan Sistem Kerja Berlebihan".

 

Editor : Aryo Arbi

Follow Berita iNews Purwokerto di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut