Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru di Cilacap, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah. Soedirman juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia sempat bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di bawah naungan Jepang, dan menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas.
Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Soedirman lantas diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan pendidikannya.
Setelah Indonesia Mengikrarkan proklamasi pada 1945, Jenderal Sudirman lantas melarikan diri ke Jakarta dan menemui Presiden Soekarno. Jenderal Sudirman kala itu ditugaskan Sang Proklamator untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Ia kemudian menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Berbagai pertempuran pasca kemerdekaan Indonesia hingga agresi militer Belanda ke II telah dilalui, Jenderal Soedirman tetap gigih bertempur dengan taktik perang gerilya yang ia lakukan. Hingga pada 1948 Sudirman didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC).
Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Sudirman yang saat itu tengah sakit, diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat.
Sebulan berjalan, Jenderal Soedirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950, tepat pukul 18.30 WIB di Magelang, Jawa Tengah. Kabar duka ini lantas dikabarkan melalui sebuah siaran khusus di RRI.
Sore harinya, jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman. Kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi jenazah Soedirman yang dibawa dari Masjid Gedhe Kauman menuju ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki.
Editor : Arbi Anugrah