PARA pria dan perempuan, berjalan kaki dari Cilacap ke Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) dengan jarak 30 kilometer (km). Keesokan harinya, komunitas itu mengikuti ritual ziarah kubur di Kompleks Makam Bonokeling. Prosesi itu digelar oleh komunitas adat Bonokeling yang bernama Unggah-unggahan. Biasanya dilangsungkan Jumat terakhir menjelang bulan puasa. Prosesi pada bulan Sadran menurut kalender Jawa tersebut, adalah upaya untuk bebersih diri.
Ini adalah prosesi budaya terbesar dari kaum adat Bonokeling dalam setahun jika dibandingkan dengan ritual lainnya.
Pesertanya lebih dari 1.000 orang. Mereka juga bertemu dengan sesama “anak cucu” Bonokeling untuk tetap menjalin kekerabatan agar tetap kuat dan rekat. Dalam ritual yang dijalankan, masing-masing mendoakan para leluhur dan meminta restu serta minta maaf kepada para sesepuh yang masih hidup.
“Prosesi Unggah-unggahan yang digelar sekali pada Jumat terakhir menjelang puasa adalah ritual yang paling besar dan banyak diikuti. Karena di sini hampir seluruh kaum adat Bonokeling baik dari Cilacap maupun Banyumas berkumpul bersama di sini,”kata salah satu warga adat Bonokeling,”jelas salah seorang anggota Komunitas Adat Bonokeling, Miswan beberapa waktu lalu.
Komunitas adat Bonokeling masih tegas mempertahankan salah satu mahakarya Indonesia yang tak lekang waktu hingga kini.
Kekayaaan budaya itu bukanlah sebuah bangunan yang mentereng, melainkan ajaran untuk saling berbagi, bergotong-royong dan menjaga kekerabatan.
“Tanpa ada gotong-royong, mustahil ritual budaya dapat terselenggara sepanjang tahun. Sebab, setiap ada gelaran ritual, maka kami harus saling bagi peran dan bergotong-royong. Itulah ajaran nenek moyang secara turun temurun,”ujarnya.
Tetua adat Bonokeling yang disebut Bedogol Bonokeling, Sumitro, mengungkapkan, untuk menggelar Unggah-unggahan, misalnya, masing-masing warga Bonokeling bergotong-royong menyiapkan makanan. Mereka membawa hasil bumi dari rumahnnya masing-masing untuk dimasak bersama.
Masak bersama komunitas adat Bonokeling. (Foto: iNewsPurwokerto).
Budaya tidak saling membedakan antarsesama itu menguatkan sikap gotong royong yang sejak ratusan tahun lalu terpelihara hingga kini.
“Kegotongroyongan menguatkan kekerabatan, begitu juga sebaliknya kekerabatan yang rekat memunculkan saling peduli yang muaranya adalah saling bantu membantu dan peduli. Tanpa pembedaan,”jelasnya.
Kegotongroyongan juga terejawantahkan dalam pengelolaan pangan di desa setempat.
Menurut Sumitro, kaum adat Bonokeling yang berada di 23 RT di Desa Pekuncen, Jatilawang itu masih memiliki stok pangan dalam kondisi
paceklik sekalipun.
“Kami tetap mempertahankan lumbung pangan sebagai tempat penyimpangan gabah hasil panen hingga kini. Jadi, meski saat desa lain sudah tak lagi memiliki, lumbung di sini tetap tak hilang. Sebab, dengan adanya lumbung, kami tidak bakal bingung, saat paceklik datang. Di lumbung, kami memiliki simpanan antara 1,5 ton hingga 5 ton,”ungkapnya.
Setiap panen datang, seorang warga Bonokeling menyisihkan sekitar 50 kilogram (kg) hingga 1 kuintal gabah. “Gabah tersebut kemudian disimpan ke dalam lumbung. Begitu musim paceklik datang, maka akan dipinjamkan kepada warga yang membutuhkan.
“Karena tidak seluruh penduduk memiliki simpanan gabah di rumah. Jika ada yang meminjam, mereka harus mengembalikan bersama bunganya sebesar 20%. Kalau pinjam 1 kuintal, misalnya, maka bunga pinjaman mencapai 20 kg. Namun, waktu pengembalian menyesuaikan dengan masa panen,”jelasnya.
Prosesi unggah-unggahan komunitas adat Bonokeling. (Foto: iNewsPurwokerto)
“Hampir seluruh RT telah memiliki gedung pertemuan yang dananya diambilkan dari bunga simpan pinjam gabah tersebut,”kata dia.
Karena gabah akan lebih tahan lama jika dibandingkan dengan beras. Kalau beras, maka hanya dalam beberapa bulan nantinya bakal menguning.
“Namun, jika gabah, maka akan lebih lama waktu penyimpannya. Ketika digiling, maka hasil berasnya akan tetap seperti gabah saat panen. Itulah mengapa sejak dulu hingga sekarang kami menyimpan pangan dalam bentuk gabah,”ungkapnya.
Bahkan, ketika musim kemarau panjang datang, saat padi tidak dapat ditanam, maka warga Bonokeling menyiapkan singkong menjadi makanan alternatif.
“Hingga kini, masih cukup banyak warga yang memiliki kebun singkong mengolahnya menjadi oyek,”katanya
Cara mengolah singkong menjadi oyek memerlukan waktu berhari-hari. Singkong sebagai bahan baku direndam dengan air hingga beberapa hari. Setelah empuk, baru kemudian ditumbuk hingga halus. Butiran singkong itulah, yang kemudian dikukus hingga matang.
“Oyek tersebut bisa langsung dimakan, namun sebagian besar bakal dikeringkan di bawak terik matahari. Kalau benar-benar kering, maka oyek tersebut mampu bertahan hingga berbulan-bulan,”tambahnya.
Kearifan lokal yang masih hidup di komunitas adat Bonokeling merupakan mahakarya Indonesia yang harus terus dijaga keberlangsungannya.
Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Ditjen Kebudayaan juga pernah melakukan riset mendalam mengenai keberadaan, adat istiadat dan kearifan lokal kaum adat Bonokeling.
Ada kearifan lokal yang tetap relevan terhadap perkembangan zaman. Bahkan, saat zaman berubah, mereka masih mempertahankannya. Namun kearifan lokal masih tetap terjaga.
Editor : EldeJoyosemito