JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Kapten CPM (Purn) Sanjoto selalu mengingat kisah hidupnya saat Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI) yang diperingati setiap tanggal 5 Oktober. Veteran berusia 94 tahun ini adalah polisi militer pertama dan prajurit pertama TNI AD, yang merupakan cikal bakal TNI.
Selama berdinas sebagai polisi militer atau prajurit TNI, Sanjoto memiliki banyak pengalaman, bahkan pernah menjadi pengawal Jenderal Sudirman dalam perang gerilya melawan Belanda.
Sanjoto menceritakan awalnya saat ia menjadi tentara Angkatan Muda atau Pelajar Solo, ikut mengusir tentara Jepang di Solo setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
"Tak sangka Jepang menyerah tanpa syarat. Ya jadi tentara begitu saja, modal berani dan bisa menduduki markas tentara Jepang dan bisa bawa senjata, langsung jadi tentara pejuang," kenang Sanjoto.
Dari situ, Sanjoto kemudian bertugas sebagai Polisi Tentara yang menguasai Markas Kenpetai.
Setelah itu, saat Belanda kembali menduduki Solo pasca kemerdekaan RI, Sanjoto dipercaya menjadi pengawal gerilya Jenderal Sudirman. Dia mengikuti perintah Jenderal Sudirman untuk berperang gerilya dengan basis di Wonogiri dan sekitarnya.
Selama perjuangan gerilya, Sanjoto mendapatkan penghargaan Bintang Sewindu dan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.
"Saya bertugas mencarikan jalan atau rute gerilya Pak Dirman ketika berada di wilayah Wonogiri hingga perbatasan Jawa Timur. Rute yang kami pilih adalah yang aman dari pengamatan dan patroli tentara Belanda,” paparnya.
Saat mencari rute aman untuk sang Jenderal, Sanjoto mengaku kerao terlibat kontak senjata dengan tentara Belanda. Di daerah Jumapala, Sanjoto pernah memasang ranjau yang menghancurkan truk pembawa pasukan Belanda.
Sanjoto mengakui bahwa perang gerilya saat itu penuh semangat untuk mengusir penjajah. Ia pun mengaku gembira ketika berhasil memgalahkan Belanda.
"Ranjau mereka berhasil dilindas rombongan truk kami lalu meledak. Ada belasan tentara Belanda dalam truk dan gugur, sementara yang lainnya balik arah untuk kabur. Kami bergegas melucuti senjata mereka dan kami dapatkan belasan pucuk senjata," ucapnya.
Lalu, Sanjoto menjelaskan perbedaan antara tentara saat itu dengan masa sekarang, terutama dalam hal senjata yang lebih modern. Mereka harus mempertimbangkan baik-baik kapan dan bagaimana menggunakan senjata mereka.
Setelah selesai menumpas Belanda, pangkat Sanjoto tiba-tiba turun dari Letnan Muda menjadi kopral karena adanya rekonstruksi di TNI, padahal saat itu karirnya sedang ada di puncak.
Tetapi kemudian dia menerima pangkat Sersan Polisi Tentara dan terus berjuang di bawah komando Kolonel Gatot Soebroto.
Sanjoto kemudian ditugaskan ke Slawi Tegal selama Penumpasan DI/TII, di mana ia menguji Rebues atau SIM Militer Letkol Ahmad Yani. Ahmad Yani meminta Sanjoto menjadi pengawalnya, dan ini membantu Sanjoto naik pangkat menjadi Sersan Mayor.
Pertemuan dengan Jenderal Ahmad Yani dianggap sebagai anugerah bagi Sanjoto, yang kemudian melanjutkan karier prajurit hingga pensiun sebagai Kapten pada tahun 1983.
Terakhir, Sanjoto juga mengungkapkan bagaimana ia pernah memburu gembong PKI yakni DN Aidit, yang ternyata bersembunyi di rumah yang sekarang ia tinggali di Semarang. Rumah tersebut adalah tempat persembunyian Aidit saat kabur dari Jakarta menuju Solo setelah peristiwa G30S PKI.
Lokasi rumah tersebut berada di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, Semarang, Jawa Tengah.
“Rumah ini dulunya saya yang ngepung dan gerebek saat mendengar kabar ada Aidit ngumpet di sini. Tapi keburu dia kabur ke Solo dan tertangkap di sana," tutur Sanjoto kakek kelahiran 17 November 1930.
Editor : Hikmatul Uyun