JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit atau Dipa Nusantara Aidit hancur lebur setelah peristiwa 30 September 1965 atau G30S PKI meledak. Banyak tokoh PKI termasuk DN Aidit bahkan diburu usai peristiwa berdarah itu.
Padahal, PKI yang masuk lima besar dalam perolehan suara Pemilu 1955, yakni bersaing ketat dengan PNI, Masyumi, NU, dan PSI, lumpuh secara organisasi.
Dalam situasi kacau, pada 1 Oktober 1965 banyak tokoh PKI yang kemudian berpencar, melakukan penyelamatan diri masing-masing. DN Aidit kabur ke wilayah Jawa Tengah yang merupakan basis suara PKI dalam Pemilu 1955.
Pada 22 November 1965, DN Aidit tertangkap. Pimpinan tertinggi PKI itu dibekuk di wilayah Solo, Jawa Tengah, di rumah Kasim alias Harjo Martono warga setempat.
Dalam perjalanan menuju ke Jakarta, DN Aidit dieksekusi di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Kabar yang beredar, tokoh PKI itu ditembak mati di dekat sumur tua di tengah kebun pisang.
Sebelum tertangkap dalam persembunyiannya, DN Aidit yang merupakan menteri koordinator dan sekaligus wakil ketua MPRS, berharap besar adanya penyelesaian politik dari Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Karenanya dalam situasi diburu, Aidit mencoba terus bertahan. Kusno, pengawal pribadi Aidit yang kemudian tertangkap dan dibui, menceritakan hal itu.
"Aidit hidup dalam keadaan dikejar-kejar, karena penyelesaian politik yang diharapkan dari Presiden Soekarno tidak kunjung tiba," kata Kusno seperti dikutip dari buku G30S Dan Kejahatan Negara.
Selama dikejar-kejar, kondisi fisik Aidit kurang bagus. Menurut Kusno, ia tidak bisa berjalan kaki jarak jauh. Kakinya lecet kena sepatu yang dipakainya, sehingga beberapa kali terpaksa digendong Kusno.
Pemandangan Aidit digendong Kusno dari satu desa ke desa lain menarik perhatian orang lain. "Apalagi ternyata Aidit di saat persembunyian itu masih mengenakan pakaian menteri".
Editor : Arbi Anugrah