JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Dua paman Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto ternyata juga berkiprah di dunia militer. Bahkan, nama salah satu pamannya kini tersemat sebagai nama dirinya.
Paman Presiden Prabowo bernama lengkap Subianto Djojohadikusumo, seorang tentara dengan pangkat terakhir kapten. Bersama saudaranya, Taruna Sujono Djojohadikusumo, Subianto terlibat dalam pertempuran di Lengkong, Tangerang Selatan, di bawah pimpinan Mayor Elias Daan Mogot. Dalam pertempuran itu, kedua kakak beradik ini, yang merupakan saudara kandung Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, gugur.
Kiprah kedua paman yang gugur di usia muda tersebut diceritakan Presiden Prabowo dalam biografinya, Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Mayor Daan Mogot, perwira yang memimpin pertempuran Lengkong. Foto/ist
Setelah Indonesia merdeka, Subianto dan Sujono bergabung masuk tentara. Subianto langsung menjadi perwira, sedangkan Sujono mengikuti pendidikan kadet (jenjang taruna). Mereka berjuang bersama Daan Mogot, perwira Tentara Republik Indonesia.
Daan Mogot dikenal sebagai tentara muda dengan karier cemerlang. Lahir di Manado, Daan Mogot mencapai pangkat mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di usia 14 tahun. Pada 1944, Daan Mogot bertugas di staf Markas Besar Peta di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan diberi pangkat mayor.
“Dengan bekal pengalaman sebagai pelatih Peta di Bali, Daan Mogot dan para perwira lain merintis pendidikan akademi militer di Indonesia. Markas Besar Tentara di Jakarta mendukung gagasan ini, hingga berdirilah Militaire Academi Tangerang (MAT) pada November 1945,” kata Prabowo dalam biografinya dilansir Minggu (10/11/2024).
Mantan Danjen Kopassus menuturkan, atas kegigihannya, Daan Mogot dipercaya menjadi direktur pertama Akademi Militer Tangerang. Tugasnya adalah mendidik calon perwira untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertempuran Lengkong
Pada Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Sasaran mereka adalah depot senjata Jepang di Lengkong, Serpong. Pada 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin 70 kadet Akademi Militer Tangerang dan 8 tentara Gurkha, misi pasukan Daan Mogot ini adalah untuk mencegah senjata tentara Jepang jatuh ke tangan Belanda.
Prabowo menceritakan, pukul 16.00 WIB pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat tentara Gurkha berhasil meyakinkan Jepang bahwa pasukan yang datang adalah gabungan TKR dan sekutu.
Mayor Daan Mogot dan beberapa tentara masuk ke kantor militer Jepang untuk menjelaskan tujuan kedatangan mereka. Namun, di luar markas, Lettu Subianto dan Lettu Soetopo melucuti tentara Jepang tanpa menunggu hasil perundingan. Senjata-senjata milik Nippon berhasil dikumpulkan.
“Tiba-tiba terdengar letusan senjata yang memicu kepanikan tentara Jepang. Mereka menduga dijebak, sehingga mereka mulai sigap dan menembaki tentara MAT,” ujar Prabowo.
Kadet Akademi Militer Tangerang pun memberikan perlawanan dan melepaskan tembakan untuk membalas, namun pertempuran tidak seimbang. Menjelang gelap, perang selesai. Tentara yang masih hidup ditawan Jepang, sementara beberapa lainnya berhasil melarikan diri.
“Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono, dua perwira dari polisi tentara, dan 33 prajurit gugur dalam pertempuran. Kedua paman saya, Subianto dan Sujono, saat itu baru berusia 16 tahun,” tutur Prabowo.
“Dari kisah Daan Mogot dan Pertempuran Lengkong, sejak kecil saya belajar sebuah pelajaran abadi. Pelajaran bahwa nilai-nilai patriotism, idealisme dan keberpihakan kepada Merah Putih dapat dimulai dari usia sangat muda,” kata Prabowo, mantan Pangkostrad, menutup cerita tersebut.
Editor : Arbi Anugrah