Tertua di Indonesia, Ini Jejak Sejarah Masjid Saka Tunggal dan Tradisi Islam Aboge

BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Di tengah rimbunnya pepohonan di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, berdiri sebuah masjid bersejarah yang dikenal dengan nama Masjid Saka Tunggal. Masjid ini bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menyimpan sejarah panjang serta tradisi unik yang masih dijaga hingga kini.
Terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Purwokerto, Masjid Saka Tunggal berdiri di sebuah lembah yang dikelilingi perbukitan. Suasana alam yang asri, tenang, dan sejuk semakin menambah kekhusyukan bagi siapa saja yang datang beribadah atau sekadar berziarah ke tempat ini.
Masjid ini dipercaya telah berusia ratusan tahun, didirikan pada 1522 Masehi oleh Kiai Tolih atau Mbah Mustolih, seorang ulama penyebar Islam di wilayah tersebut. Banyak yang meyakini bahwa masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia, bahkan dibangun sebelum Masjid Demak.
Namun, hingga kini belum ditemukan bukti tertulis yang dapat menguatkan klaim tersebut. Sejarah berdirinya Masjid Saka Tunggal lebih banyak diketahui dari cerita turun-temurun serta peninggalan fisik yang masih bertahan.
"Menurut cerita leluhur, masjid ini dibangun sebelum Masjid Demak, mungkin pada masa Majapahit," ujar Sulam, Imam Masjid Saka Tunggal sekaligus juru kunci masjid tersebut beberapa waktu lalu.
Salah satu hal menarik dari Masjid Saka Tunggal adalah keberadaan kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hidup liar di sekitar area masjid. Monyet-monyet ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan dipercaya sebagai bagian dari legenda masjid.
Konon, menurut cerita masyarakat setempat, kawanan monyet tersebut adalah santri-santri yang dikutuk oleh Kyai Saka Tunggal. Mereka dianggap tidak patuh, sering membuat gaduh, dan mengabaikan salat. Akibat kenakalan mereka, sang kyai akhirnya mengutuk mereka menjadi monyet.
Meskipun hanya legenda, keberadaan monyet-monyet ini seakan memperkuat aura mistis sekaligus keunikan masjid yang telah diakui sebagai Cagar Budaya sejak 1989.
Masjid berukuran 15 x 17 meter ini memiliki keunikan tersendiri dalam struktur bangunannya. Salah satu elemen yang paling mencolok adalah Saka Tunggal, sebuah tiang utama berukuran 40 x 40 cm dengan tinggi sekitar 5 meter, yang menjadi penopang utama masjid.
Tiang ini dihiasi ukiran bunga dan tanaman, serta dilindungi kaca agar tetap terjaga keasliannya. Saka Tunggal melambangkan persatuan antara manusia dengan Sang Pencipta, di mana manusia harus senantiasa menghormati Allah dan menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan.
Di bagian atas tiang, terdapat empat sayap kayu yang melambangkan konsep “4 Kiblat 5 Pancer”, yaitu empat arah mata angin dengan satu pusat yang menunjuk ke atas. Makna filosofisnya adalah bahwa setiap manusia harus memiliki kiblat atau pedoman hidup, yakni Allah.
"Empat arah juga melambangkan unsur dasar manusia, yaitu air, tanah, api, dan udara, serta sifat-sifatnya seperti nafsu aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah. Semua itu harus dikendalikan agar hidup lebih harmonis," jelas Sulam.
Meskipun masih mempertahankan konsep asli, banyak ornamen di dalam masjid yang telah mengalami perubahan sejak renovasi pada 1976. Generasi saat ini tidak lagi dapat melihat desain asli bangunan masjid, kecuali pada bagian Saka Tunggal yang masih utuh.
Selain arsitektur dan legendanya yang unik, Masjid Saka Tunggal juga dikenal karena masih mempertahankan tradisi Islam Aboge dalam menentukan hari-hari besar Islam menggunakan perhitungan Jawa.
Islam Aboge menggunakan sistem perhitungan berdasarkan siklus delapan tahun (sewindu), yang terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim Akhir. Selain itu, sistem penanggalan ini juga mengacu pada hari pasaran Jawa seperti Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.
Metode ini sudah digunakan sejak abad ke-14 oleh para wali dan kemudian dikembangkan oleh Raden Rasid Sayid Kuning dari Kerajaan Pajang. Hingga kini, jemaah masjid masih mengikuti perhitungan ini dalam menetapkan hari raya dan perayaan keagamaan lainnya.
Selain itu, masyarakat setempat juga masih melestarikan tradisi “penjarohan” atau ziarah ke makam leluhur. Setiap 26 Rajab, warga bergotong-royong membersihkan dan mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid serta area makam.
“Yang dimaksud jaroh itu adalah agar dijaga antara njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya kita menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah,” tuturnya.
Masjid Saka Tunggal tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Berdasarkan penelitian arsitektur yang dilakukan oleh Yohana Nursruwening dan Wita Widyandini dari Universitas Wijayakusuma (Unwiku) Purwokerto, usia masjid ini diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun.
Hal ini diperkuat dengan angka 1288 Hijriyah yang tertera pada tiang utama masjid. Jika dikonversi ke dalam kalender Masehi, angka tersebut menunjukkan tahun 1522, yang semakin menguatkan klaim bahwa masjid ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia.
Meski telah mengalami berbagai perubahan, nilai sejarah, tradisi, dan filosofi Masjid Saka Tunggal tetap terjaga hingga kini, menjadikannya salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan.
Editor : Arbi Anugrah