Lolos dari Maut di Medan Laga: Kisah Heroik 4 Jenderal Kopassus, Nomor 3 Duel Sengit Jarak Dekat

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Dalam setiap misi penting, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) selalu menjadi garda terdepan. Keberanian prajurit Kopassus tak diragukan lagi, terutama saat bertempur jarak dekat dengan musuh, mempertaruhkan nyawa demi negara.
Beberapa prajurit Kopassus yang kemudian menjadi jenderal memiliki catatan heroik, selamat dari situasi pertempuran jarak dekat yang mengancam nyawa.
Berikut empat jenderal Kopassus yang lolos dari maut saat pertempuran jarak dekat:
1. Jenderal Benny Moerdani
Leonardus Benjamin Moerdani, atau Benny Moerdani, adalah sosok legendaris dalam sejarah militer Indonesia. Kiprahnya tercatat dalam berbagai operasi penting, termasuk pembebasan Irian Barat (Papua) pada 1962 dan Operasi Ganyang Malaysia pada 1964.
Di Papua, Benny bahkan nyaris kehilangan nyawanya akibat tembakan musuh. Buku "Benny Moerdani yang Belum Terungkap" menceritakan bahwa Benny, yang saat itu berpangkat kapten, bersama prajurit RPKAD (kini Kopassus) diterjunkan dalam Operasi Naga. Ketika sedang beristirahat di Sungai Kumbai dalam perjalanan menuju pusat pertahanan Belanda di Merauke, pasukan Benny diserang oleh Marinir Belanda.
Serangan mendadak itu memicu pertempuran jarak dekat yang sengit. Benny, yang tak menduga akan disergap, dengan sigap berlindung dan memerintahkan pasukannya untuk menyelamatkan diri. Dalam kejadian itu, Benny nyaris tewas ketika topi rimbanya tertembus peluru, namun dewi fortuna masih melindunginya.
Pada tahun 1964, saat konfrontasi Indonesia-Malaysia, Benny kembali berhadapan dengan maut. Saat menyusup ke wilayah musuh bersama pasukannya, keberadaan mereka tercium oleh pasukan khusus SAS Inggris, yang reputasinya dalam pertempuran Perang Dunia II sangat disegani.
Pasukan SAS menunggu di seberang sungai, siap menghujani Benny dan pasukannya dengan peluru. Melalui bidikan sniper, sosok Benny terlihat jelas. Namun, secara misterius, pasukan elite Inggris itu urung menembak, memberikan kesempatan bagi Benny dan pasukannya untuk selamat dari situasi yang sangat berbahaya.
2. Letjen Sintong Panjaitan
Kisah nyaris kehilangan nyawa juga dialami oleh Sintong Panjaitan, mantan Danjen Kopassus, ketika sebuah peluru melesat tepat di dekat kepalanya. Pengalaman mendebarkan saat menumpas pemberontakan Lodewijk Mandatjan di Papua diceritakannya dalam buku “Sintong Panjaitan: Perjalanan Prajurit Para Komando”.
Saat itu, tim RPKAD melakukan operasi pembersihan di wilayah Kecamatan Warmare sebelum kembali ke Manokwari menggunakan truk. Perjalanan mereka melalui area perbukitan yang sangat berpotensi menjadi lokasi penyergapan. Ketika truk berhenti di ketinggian, tim RPKAD, termasuk Sintong, turun untuk melakukan orientasi medan.
Sintong duduk bersebelahan dengan Mayor Vordeling, Kasi I/Intelijen Korem 171/Manokwari, yang sedang menikmati rokoknya. Tiba-tiba, rentetan tembakan dari kelompok pemberontak yang bersembunyi di jurang, hanya berjarak enam meter, mengejutkan mereka. Keajaiban terjadi, tembakan itu luput dari kepala Sintong. Pada momen krusial itu, tanpa disadari, Sintong sedang menggaruk kakinya yang terasa gatal akibat gigitan semut merah.
3. Jenderal AM Hendropriyono
Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono memiliki kisah heroik lolos dari maut saat menjalankan misi memburu pimpinan pasukan Barisan Rakyat (Bara) Sukirjan alias Siauw Ah San dalam operasi pembersihan PGRS/Paraku pada tahun 1973.
Dalam biografi "Operasi Sandi Yudha", dikisahkan bagaimana Kapten Hendropriyono harus merayap sejauh 4,5 kilometer di rimba Kalimantan yang lebat. Setibanya di persembunyian Siauw Ah San, Hendropriyono dengan berani memerintahkan pemberontak itu untuk menyerah.
Namun, Siauw Ah San menolak mentah-mentah. Tanpa gentar, Hendropriyono memberikan komando serbu dan langsung mendobrak jendela tempat persembunyian. Dalam aksi cepat itu, anggota tim Hendro, Abdullah alias Pelda Ahmad Kongsenlani, mengalami luka parah di perut akibat sabetan bayonet Siauw Ah San.
Reaksi cepat Hendropriyono terlihat saat ia melemparkan pisau komandonya ke arah Siauw Ah San. Sayangnya, lemparan itu meleset dan hanya mengenai dada kanan pemberontak, menyebabkan luka ringan.
"Saat itu saya tanpa senjata di tangan dan harus merebut bayonet dari Siauw Ah San. Sedangkan pistol masih terselip di belakang bawah punggung," ungkap Hendro.
Dengan tenang namun sigap, Hendropriyono mundur beberapa langkah, kemudian melompat tinggi dan menendang dada Siauw Ah San. Meski terjatuh, pemberontak itu masih sempat menghujamkan bayonet ke paha kiri Hendropriyono. "Ngilu rasanya baja dingin itu menembus daging dan menusuk tulang paha saya. Daging saya tersembul keluar dan darah mengalir dari paha kiri kaki," katanya.
Siauw Ah San kembali menyerang, mencoba menusuk dada kiri Hendropriyono. Dengan insting bertahan yang kuat, Hendropriyono melindungi dirinya dengan tangan kiri, yang langsung terkoyak hingga daging lengan dan hasta kirinya sobek. Darah kembali mengalir deras. Tangan kanannya dengan cepat bergerak merebut bayonet, mengakibatkan kelima jarinya terluka parah, bahkan jari kelingking kanannya nyaris putus.
Menahan rasa sakit yang luar biasa akibat luka-luka tersebut, Hendropriyono berhasil mencabut pistolnya dan menembakkannya ke tubuh Siauw Ah San. "Dor, saya tembak Siauw Ah San dengan dua kali tarikan picu tapi hanya satu peluru yang melesat menembus perutnya karena yang satu lagi macet. Siauw Ah San pun terhuyung-huyung," kenangnya.
Dalam kondisi terluka parah, Hendropriyono berhasil membanting Siauw Ah San hingga terjatuh, dan nyawanya pun selamat dari bahaya maut.
4. Letjen Sutiyoso
Sebelum Operasi Seroja menggempur Timor Timur (kini Timor Leste), TNI mengandalkan unit kecil pasukan khusus untuk misi intelijen di garis depan musuh. Tugas memimpin unit pertama ini diemban oleh Kapten Inf Sutiyoso, yang diperintahkan langsung oleh Kepala G-1/Intelijen Hankam Mayjen LB Moerdani dalam Operasi Flamboyan. Misinya adalah memetakan kekuatan Fretilin dan mencari lokasi pendaratan yang aman.
Dalam operasi berbahaya ini, jiwa kepemimpinan Sutiyoso diuji. Demi menyelamatkan empat anggotanya yang tertembak musuh, ia rela tidak makan selama lima hari sambil terus menghindari kejaran musuh. Mantan Wadanjen Kopassus ini dengan penuh pengorbanan membopong satu per satu rekannya yang terluka, memindahkannya ke tempat yang lebih aman di tengah pertempuran.
Saran untuk meninggalkan anggota yang terluka sempat diterima Sutiyoso melalui radio dari para senior. Namun, Sutiyoso menolak mentah-mentah. Bahkan ketika salah satu anggota yang dipapahnya meminta untuk ditinggalkan dengan granat untuk mengakhiri hidup jika tertangkap, Sutiyoso dengan tegas menolak. "Tidak! Kamu bisa saya selamatkan. Kuatkan saja dirimu!" ujarnya penuh semangat.
Di bawah hujan peluru Fretilin, keberanian Sutiyoso membuahkan hasil. Ia berhasil membopong keempat anggotanya yang tertembak naik ke helikopter. Setelah perjuangan berat, keempat prajurit yang terluka itu akhirnya berhasil dievakuasi dengan selamat
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta