Gowok Kamasutra Jawa, Tradisi Pendidikan Seks yang Pudar karena Melanggar Norma dan Agama

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Tradisi Gowok yang dulu dianggap tabu, kini kembali menarik perhatian publik melalui film berjudul Gowok Kamasutra Jawa. Kisah ini membangkitkan kembali wacana tentang praktik pendidikan seks dalam Budaya Jawa kuno yang pernah hidup dan berkembang, namun perlahan hilang seiring waktu.
Diperkirakan, praktik Gowok mencapai masa kejayaannya pada abad ke-15, terutama di wilayah Jawa bagian selatan seperti Purworejo dan Banyumas. Namun, memasuki era 1960-an, tradisi ini mulai ditinggalkan akibat perubahan nilai moral dan pengaruh agama yang semakin kuat.
Kembalinya isu ini ke permukaan tidak terlepas dari upaya sineas Indonesia yang mengangkatnya ke layar lebar. Film Gowok Kamasutra Jawa yang diproduksi MVP Pictures dan Dapur Film, berhasil mengemas cerita tersebut menjadi tontonan yang mengundang rasa ingin tahu sekaligus membuka ruang diskusi tentang pendidikan seks dalam konteks budaya lokal.
Bahkan, dalam acara pemutaran film, Menteri Kebudayaan turut hadir dan memberikan apresiasi terhadap karya ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan pelestarian budaya Indonesia.
“Menurut saya ceritanya sangat menarik karena mengangkat sebuah tradisi yang mungkin kini telah punah. Akulturasi berbagai budaya di Indonesia menjadikan negeri ini kaya akan peristiwa dan kisah yang layak diangkat ke layar lebar," ujar Fadli Zon dalam kesempatan tersebut dikutip dari Okezone, Rabu (18/6/2025).
Asal mula Gowok diyakini bermula dari kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Pulau Jawa. Dalam novel Nyai Gowok karya Budi Sarjono, disebutkan nama seorang perempuan Tionghoa bernama Goo Wok Niang, yang memperkenalkan praktik ini. Seiring waktu, pelafalan lokal menyederhanakannya menjadi “Gowok”.
Dalam praktiknya, Gowok adalah perempuan dewasa yang membimbing remaja laki-laki untuk mengenal tubuh perempuan dan memahami hubungan seksual secara fisik dan emosional. Tradisi ini bukan sekadar pemuasan hasrat, namun lebih kepada bentuk awal pendidikan seks dan persiapan menuju jenjang pernikahan.
Konsep Gowok juga hadir dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Di sana, figur Gowok digambarkan sebagai perempuan yang dipercaya untuk mendidik anak laki-laki yang telah baligh, terutama menjelang pernikahan.
Ahmad Tohari menjelaskan, masa “pergowokan” umumnya berlangsung antara beberapa hari hingga satu minggu. Dalam waktu tersebut, anak laki-laki tinggal bersama seorang Gowok, belajar secara langsung melalui proses yang dikenal dengan istilah “nyantrik”.
Fokus utamanya adalah membekali calon pengantin pria agar tidak merasa canggung atau gagal di malam pertama mereka.
Usai menjalani pembelajaran, pemuda dianggap lebih dewasa secara emosional dan siap menghadapi kehidupan rumah tangga. Bahkan, mereka dipercaya akan lebih disukai perempuan karena dinilai sudah memahami etika serta seni hubungan suami istri, seperti yang diajarkan dalam Kamasutra versi lokal.
Pemilihan sosok Gowok biasanya disepakati antara pihak orang tua laki-laki dan calon mertua. Umumnya, yang dipilih adalah perempuan berusia 30 hingga 40 tahun, berasal dari kalangan masyarakat Jawa yang berpengalaman dan dikenal bijak dalam memberi nasihat tentang pendidikan seks.
Menariknya, praktik ini tidak hanya terjadi saat remaja memasuki masa pubertas, tetapi juga menjelang pernikahan. Hal ini menunjukkan bagaimana Budaya Jawa tradisional memberikan perhatian khusus pada kesiapan emosional dan seksual seorang pria sebelum membentuk keluarga.
Memasuki dekade 1960-an, tradisi Gowok mulai memudar. Pengaruh ajaran agama dan moral baru yang lebih konservatif menjadikan praktik ini dianggap tidak lagi sesuai dengan norma sosial masyarakat Jawa modern.
Namun, lewat film Gowok Kamasutra Jawa, publik kembali diajak melihat warisan budaya ini dalam perspektif yang berbeda, bukan sebagai praktik negatif, tetapi sebagai bentuk pendidikan seks tradisional yang pernah eksis dalam masyarakat Jawa.
Editor : Arbi Anugrah