Kiprah Bank Sampah Abhipraya di Kutawaru, Mengubah Sampah Jadi Harapan

CILACAP, iNewsPurwokerto.id – Di sebuah kelurahan terpencil yang dikelilingi perairan Segara Anakan, harapan baru muncul dari tumpukan sampah.
Kutawaru, bagian dari Kecamatan Cilacap Tengah, dulunya akrab dengan persoalan lingkungan akibat limbah rumah tangga. Namun, sejak 2024, ada perubahan nyata yang pelan namun pasti menyulap wajah kampung ini. Namanya: Bank Sampah Abhipraya.
Bank Sampah Abhipraya bukan sekadar tempat menaruh sampah. Bank sampah tersebut bagian dari program Masyarakat Mandiri Kutawaru (Mamaku) yang dikembangkan oleh Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit IV Cilacap melalui konsep Sistem Integrasi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Terpojok (Sigap).
Program ini dirancang sebagai solusi menyeluruh, bukan hanya untuk persoalan sampah, tapi juga untuk pemberdayaan dan edukasi masyarakat.
Direktur Operasi PT KPI, Didik Bahagia, yang hadir langsung meresmikan fasilitas ini pada Jumat sore (20/6/2025), tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Bank Sampah Abhipraya adalah bukti nyata bahwa pengelolaan sampah bisa dilakukan secara terintegrasi dan berdampak langsung terhadap ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan, pendekatan yang dilakukan Kilang Cilacap bukan hanya sekadar tanggung jawab perusahaan, tapi juga bentuk pembelajaran.
“Kami banyak belajar dari semangat masyarakat Kutawaru. Harapannya ini tidak sekadar menjadi peresmian simbolik, tapi terus berkembang menjadi gerakan perubahan,” imbuhnya.
Di tengah hiruk-pikuk kesibukan warga, nama Ahmad Sodri kini dikenal sebagai local hero. Bersama warga lainnya, Sodri menjadi penggerak utama Bank Sampah Abhipraya.
Menurutnya, dukungan dari Kilang Cilacap berupa mesin pencacah plastik, komposter, alat daur ulang, serta pelatihan, membuka cakrawala baru dalam pengelolaan sampah rumah tangga.
“Kami sekarang punya mesin pencacah khusus untuk limbah plastik kemasan botol dan gelas. Hasilnya bisa didaur ulang menjadi berbagai produk seperti plakat dan kerajinan mebel. Bahkan limbah B3 juga bisa dimanfaatkan,” ujar Sodri.
Yang menarik, sampah yang dikumpulkan tak hanya berakhir menjadi produk daur ulang. Warga juga bisa menukarkannya dengan kebutuhan sehari-hari atau menyimpannya sebagai tabungan. Konsep ini menumbuhkan semangat baru di tengah masyarakat: bahwa sampah bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari perubahan.
Program Bank Sampah Abhipraya juga melahirkan inovasi lokal lainnya: budidaya maggot atau larva lalat Black Soldier Fly (BSF).
Maggot ini digunakan untuk mengolah sampah organik dan sekaligus menjadi pakan ikan. Bagi warga Kutawaru, ini adalah lompatan besar—dari membakar sampah menjadi peternak maggot.
“Dulu kami buang ke sungai, atau bakar sampah di pekarangan. Sekarang, kami terbiasa memilah. Sampah yang disetor bisa jadi sesuatu yang bermanfaat,” tutur Sodri.
Data menyebutkan, sebelum program ini berjalan, Kutawaru menghasilkan sedikitnya 150 ton sampah setiap tahun, sebagian besar tak terkelola dengan baik.
Kini, perlahan tapi pasti, angka itu mulai ditekan dengan keterlibatan warga yang aktif.
Apa yang dilakukan Kilang Cilacap bukan sekadar program lingkungan. Ini adalah bentuk konkret dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan yang berkelanjutan.
Program Bank Sampah Abhipraya sejalan dengan prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) dan mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Di ujung perairan Segara Anakan, tempat yang dulu dianggap terpinggirkan, kini muncul inspirasi dari masyarakat yang mampu berdaya dari sampahnya sendiri.
Di bawah naungan Bank Sampah Abhipraya, Kutawaru tak lagi sekadar kampung di pinggir kota, melainkan pelopor perubahan yang menunjukkan bahwa lingkungan bersih dan ekonomi sirkular bisa berjalan seiring.
Editor : EldeJoyosemito