Mengikuti Jejak Al Qodri, Tukang Angon Bebek Keliling dari Banjarnegara

BANJARNEGARA, iNewsPurwokerto.id — Suara riuh ratusan bebek menyambut pagi di tengah hamparan sawah Blok Sindu, Kecamatan Kalibening. “Wek wek wek, wak wak wak!” terdengar nyaring dari tenda darurat yang disulap menjadi kandang sementara.
Meski bagi sebagian orang terdengar seperti keributan, bagi Al Qodri (42), suara itu adalah irama hidupnya sejak lebih dari dua dekade lalu.
Dialah penjaga kawanan unggas itu. Sejak 2002, pria asal Banjarnegara ini memilih jalan hidup yang tak lazim—menggembala bebek keliling. Profesi yang akrab disebut “tukang angon bebek” ini membawanya lintas kota, dari Banjarnegara hingga Cilacap, Banyumas, Purbalingga, bahkan pernah menginjakkan kaki di sawah-sawah Pekalongan.
"Saya mulainya di Banjarnegara, tapi sekarang ikut kemana bebek dibutuhkan. Kadang bisa jauh banget," ujar Qodri sambil mengamati ribuan bebek yang ramai berceloteh.
Sekilas, pekerjaannya tampak sederhana: menjaga bebek dan mengumpulkan telur. Namun di balik itu, ada kedisiplinan dan kejujuran yang tak bisa ditawar.
Sistem kerja yang dijalani Qodri bisa berupa gaji tetap atau bagi hasil tergantung kesepakatan dengan pemilik bebek. Telur-telur hasil panen harian dijual, dan hasilnya bisa langsung disetorkan ke pemilik atau dikelola sementara oleh Qodri sebagai perantara.
"Kalau kami yang pegang uangnya, ya kami potong sedikit untuk ongkos harian. Tapi tetap harus jujur. Kalau bohong, cepat ketahuan,” ujarnya dengan tenang.
Mengelola ribuan bebek bukan tanpa risiko. Satu tantangan yang kerap muncul adalah kawanan bebek yang saling bercampur saat digembalakan bersama kelompok lain. Tanpa tanda, seekor bebek bisa dengan mudah nyasar ke rombongan berbeda.
“Biasanya pagi atau sore kami cek jumlahnya. Kalau ada lebih, langsung ditawarkan ke penggembala lain. Mungkin bebeknya salah jalur,” katanya sembari terkekeh.
Peta petualangan Qodri berubah seiring musim tanam. Saat sawah dipenuhi padi, ia berpindah ke lahan yang kosong. Bahkan, jika bebek dijual, ia pulang sejenak ke rumah.
“Kami ikut ritme alam. Saat sawah tidak bisa dipakai, ya istirahat. Tapi kadang juga pindah ke tempat lain yang belum banyak angon bebeknya,” jelasnya.
Soal penghasilan, Qodri tidak muluk. Rata-rata ia mendapatkan Rp2 juta per bulan, belum termasuk makan. Meski begitu, biaya transportasi biasanya ditanggung pemilik bebek.
Di balik sawah yang tenang, ada ancaman yang tak terlihat. Penyakit, serangan hewan liar, hingga lintah yang bisa menempel di tenggorokan bebek jadi musuh harian Qodri. Ia sudah hafal gejala: bebek yang terlihat mengantuk biasanya sedang tak sehat.
“Kadang kami kasih pakan yang dicampur obat cacing. Tapi kalau ada lintah di mulutnya, harus cepat diambil. Kalau telanjur tertelan, bisa bahaya,” ujarnya sambil menunjukkan lintah kecil hasil buruannya dari seekor bebek.
Meski penghasilan pas-pasan dan pekerjaannya penuh risiko, Qodri mengaku tak pernah ingin berhenti. Ada kedamaian yang hanya bisa ia temukan di tengah sawah, di antara gemericik air irigasi dan keriuhan kawanan bebek.
“Kalau sudah di sini, dengar suara bebek, rasanya damai. Entah mereka marah atau sedang tertawa, tapi saya merasa ditemani,” katanya, menatap sawah yang menghampar sejauh mata memandang.
Al Qodri bukan sekadar tukang angon. Ia adalah penjaga ritme alam, penyambung hidup ratusan bebek, dan saksi bisu kehidupan pedesaan yang kian jarang dilirik. Dalam kesederhanaan dan kesunyian sawah, ia menemukan arti kerja, kejujuran, dan kebahagiaan yang tak bisa dibeli.
Editor : EldeJoyosemito