Kopi Kailasa, Cerita Sukses dari Desa ke Pasar Dunia

BANJARNEGARA, iNewsPurwokerto.id-Di antara deretan produk UMKM yang meramaikan pameran Karya Kreatif Serayu (KKS) akhir Juni lalu, aroma kopi menyeruak dari sebuah stan sederhana bertuliskan Kopi Kailasa.
Bagi masyarakat Banjarnegara, nama ini bukan sekadar merek dagang, tetapi representasi kisah panjang perjuangan warga Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, dalam menyelaraskan ekonomi dan konservasi alam.
Desa Babadan berdiri di ketinggian 1.200 mdpl, wilayah yang dulu dikenal rawan longsor. Pada 2005, bencana besar menewaskan empat orang dan merusak lahan pertanian sayuran.
Tragedi itu menyadarkan warga bahwa mereka harus beralih dari pola tanam yang mengikis tanah menuju sistem yang lebih ramah lingkungan. Pilihan jatuh pada kopi—tanaman yang akarnya mampu menahan erosi sekaligus memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Kami butuh brand,” kenang Turno, mantan Kepala Desa Babadan yang kini menjadi Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata.
Diskusi panjang bersama para petani melahirkan nama Kailasa, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti pegunungan perak. Filosofi ini menggambarkan kabut putih yang menyelimuti puncak Pegunungan Bisma layaknya lapisan perak.
Dengan varietas arabika sebagai andalan, para petani memulai langkah baru pada 2010, membentuk Koperasi Sikopel Mitreka Satata untuk mengatur proses budidaya, panen, hingga pemasaran.
Perjalanan tak selalu mulus, banyak petani ragu meninggalkan tanaman sayuran yang cepat menghasilkan. Namun, hasil panen pertama membuka mata semua pihak.
Dukungan datang dari berbagai institusi, termasuk Bank Indonesia (BI) Purwokerto yang memberikan satu juta bibit kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember serta pelatihan dan pendampingan kelembagaan.
Pada 2022, Kopi Kailasa mengantongi sertifikat Indikasi Geografis (IG) untuk arabika Pegunungan Dieng Banjarnegara, sebuah pengakuan resmi terhadap cita rasa khas yang tak bisa ditiru daerah lain.
Kailasa tak hanya menyasar pasar lokal. Sejak dipasarkan melalui marketplace pada 2015, terutama Shopee, permintaan meningkat tajam. “Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada marketplace,” ujar Turno.
Produk Kailasa meliputi Ground Coffee Fullwash, Honey, dan Natural, serta green bean arabika dan robusta. Kini, permintaan bahkan datang dari luar negeri seperti Singapura, meski kapasitas produksi masih terbatas.
Pemasaran digital ini tak lepas dari pendampingan Kuswoyo, mitra koperasi yang fokus pada branding, pengemasan, hingga standardisasi industri kopi.
“Media sosial diperlukan untuk memperkuat branding, sedangkan marketplace memperluas jangkauan pasar. Ekspedisi kini lebih efisien, berbeda dengan dulu yang hanya mengandalkan transaksi langsung,” katanya.
Keberhasilan Kopi Kailasa juga menginspirasi lahirnya Coffee Learning Center pada Januari 2024 di Desa Babadan, berkat kolaborasi BI Purwokerto, UGM dan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.
Fasilitas ini menjadi pusat edukasi dari hulu ke hilir, meliputi pengolahan, cupping, hingga strategi pemasaran. “Kami berharap pusat pembelajaran ini benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Turno.
Event KKS sendiri, yang tahun ini mengusung tema “Penguatan Peran UMKM dan Transformasi Digital sebagai Katalisator Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan,” menjadi wadah bagi produk-produk seperti Kopi Kailasa untuk semakin dikenal luas.
Menurut Kepala BI Purwokerto Christoveny, ajang tahunan ini selaras dengan program nasional seperti Gerakan Bangga Buatan Indonesia (GBBI), Gerakan Wisata di Indonesia (GWBI), Karya Kreatif Indonesia (KKI), dan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin mendorong UMKM di Banyumas Raya agar semakin siap menghadapi era digital dan mampu bersaing di pasar yang lebih luas, termasuk pasar ekspor,” kata Christoveny.
Kini, di balik secangkir Kopi Kailasa yang diseduh hangat, tersimpan kisah transformasi desa, dari tragedi longsor menuju ketahanan ekonomi berbasis konservasi.
Kailasa bukan sekadar minuman, komoditas itu adalah simbol harapan, kolaborasi, dan masa depan pertanian yang berkelanjutan dari lereng Pegunungan Bisma untuk Indonesia, bahkan dunia.
Editor : EldeJoyosemito