Bendung Tanah Terbentuk di Lokasi Longsor Pandanarum, Ahli UGM Peringatkan Ancaman Banjir Bandang
BANJARNEGARA, iNewsPurwokerto.id - Ancaman banjir bandang kini menjadi perhatian serius Tim Geologi Disaster Emergency Response Unit Universitas Gadjah Mada (DERU UGM) setelah menemukan tanda-tanda terbentuknya bendung tanah (landslide dam) di balik endapan longsor di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara.
Saat melakukan peninjauan bersama jajaran Kodim dan BPBD, tim menemukan rekahan baru yang terus melebar serta kemunculan sumber mata air dengan debit besar mencapai 0,2 m³ per detik di area puncak bukit. Kedua gejala tersebut menunjukkan bahwa lereng tengah mengalami kejenuhan air ekstrem yang dapat memicu pergerakan tanah secara tiba-tiba.
Pakar Geologi UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, menegaskan potensi akumulasi air di balik timbunan material longsor lama berisiko membentuk kolam alami yang sewaktu-waktu bisa jebol.
“Ancaman longsor susulan masih mengintai warga Desa Pandanarum, dan risiko banjir bandang kini meningkat secara signifikan,” ujarnya di Banjarnegara, Kamis (20/11/2025).
Menurut Dwikorita, rekahan yang muncul pada tubuh lereng mempercepat infiltrasi air hujan ke dalam massa tanah. Jika tekanan air pori meningkat, material yang awalnya stabil dapat bergerak turun dan menutup aliran sungai kecil di bawahnya. Kondisi ini sering menjadi pemicu terbentuknya bendung tanah yang sangat rentan gagal.
Apabila dinding bendung tidak mampu menahan peningkatan volume air, pelepasan secara tiba-tiba dapat menimbulkan arus bandang dengan kecepatan tinggi ke wilayah permukiman.
“Jika bendungan tanah itu jebol, alirannya tidak hanya membawa lumpur tetapi seluruh material longsoran sebelumnya. Dampaknya bisa jauh lebih luas dan kuat dibanding longsor awal, karena dipicu oleh desakan air kolam seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman sekitar 1,5 meter,” jelasnya.
Bahaya semakin meningkat akibat ditemukannya lapisan lempung biru (blue clay) yang berada miring ke arah luar lereng di bawah zona rekahan. Lapisan ini mengandung mineral lempung seperti montmorillonite, smectite, dan illite yang sangat sensitif terhadap air.
Saat kering, material ini keras menyerupai batu. Namun saat jenuh air, lapisan tersebut berubah menjadi seperti pasta yang sangat licin dan kehilangan kekuatan.
“Lempung biru ini dalam terminologi geologi disebut serpih, membuat tumpukan tanah di atasnya mudah bergerak dan mempercepat terjadinya longsor berulang. Begitu jenuh air, kekuatannya hilang drastis,” tambah Dwikorita.
Faktor inilah yang menyebabkan pergerakan tanah di Pandanarum tidak berhenti meskipun longsor besar sudah terjadi sebelumnya. Kombinasi rekahan, sumber mata air berdebit tinggi, serta lempung biru menjadikan kondisi lereng sangat tidak stabil.
Melihat situasi di lapangan, Tim Geologi UGM menilai bahwa langkah paling mendesak adalah mencegah peningkatan volume air di balik endapan longsor.
“Langkah darurat seperti pembuatan sudetan pada tumpukan endapan longsor sebagai drainase sementara sangat penting untuk mengurangi tekanan air. Jika tidak, risiko jebolnya bendung tanah akan semakin besar,” tegasnya.
Ia juga meminta warga untuk menjauhi dasar tebing, bantaran sungai kecil, lembah sempit, dan jalur aliran air yang dapat berubah menjadi lintasan banjir bandang apabila bendung tanah gagal menahan kolam air.
Dengan curah hujan yang terus tinggi dan adanya tambahan debit dari mata air baru, tekanan air pori di dalam lereng diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat.
“Keselamatan harus lebih diutamakan. Menghindarlah dari area bawah lereng dan segera laporkan jika muncul rekahan baru atau aliran air yang tidak biasa. Bahaya di Pandanarum bukan hanya longsor, tetapi juga kemungkinan banjir bandang yang dapat terjadi mendadak,” tutupnya.
Editor : Arbi Anugrah