Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وَأَمَّا الْكُحْلُ وَالْحُقْنَةُ وَمَا يُقْطَرُ فِي إحْلِيلِهِ وَمُدَاوَاةُ الْمَأْمُومَةِ وَالْجَائِفَةِ فَهَذَا مِمَّا تَنَازَعَ فِيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُفَطِّرْ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَمِنْهُمْ مَنْ فَطَّرَ بِالْجَمِيعِ لَا بِالْكُحْلِ وَمِنْهُمْ مَنْ فَطَّرَ بِالْجَمِيعِ لَا بِالتَّقْطِيرِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُفَطِّرْ بِالْكُحْلِ وَلَا بِالتَّقْطِيرِ وَيُفَطِّرُ بِمَا سِوَى ذَلِكَ. وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِشَيْءِ مِنْ ذَلِكَ. فَإِنَّ الصِّيَامَ مِنْ دِينِ الْمُسْلِمِينَ الَّذِي يَحْتَاجُ إلَى مَعْرِفَتِهِ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ فَلَوْ كَانَتْ هَذِهِ الْأُمُورُ مِمَّا حَرَّمَهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ فِي الصِّيَامِ وَيَفْسُدُ الصَّوْمُ بِهَا لَكَانَ هَذَا مِمَّا يَجِبُ عَلَى الرَّسُولِ بَيَانُهُ وَلَوْ ذَكَرَ ذَلِكَ لَعَلِمَهُ الصَّحَابَةُ وَبَلَّغُوهُ الْأُمَّةَ كَمَا بَلَّغُوا سَائِرَ شَرْعِهِ. فَلَمَّا لَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ لَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا وَلَا مُسْنَدًا وَلَا مُرْسَلًا – عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Adapun mengenakan celak mata, memasukkan sesuatu melalui dubur, injeksi saluran kencing, pengobatan luka di kepala sampai ke otak dan pengobatan terhadap penyakit dalam melalui perut yang robek, maka ini semua adalah permasalahan yang diperselisihkan para ulama, ada yang berpendapat tidak ada satu pun yang membatalkan puasa, ada yang berpendapat semuanya membatalkan puasa kecuali celak, ada yang berpendapat semuanya membatalkan puasa kecuali injeksi dan ada yang berpendapat tidak batal dengan celak dan injeksi, namun batal dengan selain itu.
Pendapat yang paling jelas kebenarannya adalah tidak ada satu pun dari semua itu yang membatalkan puasa, karena sesungguhnya puasa termasuk ajaran agama kaum muslimin yang membutuhkan pengenalan terhadapnya secara khusus dan umum.
Andaikan perkara-perkara ini termasuk yang Allah dan Rasul-Nya haramkan ketika puasa dan dapat membatalkan puasa, maka sudah tentu termasuk perkara yang wajib dijelaskan oleh Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan andaikan beliau telah menjelaskannya pasti diketahui oleh para sahabat dan mereka akan menyampaikannya kepada umat sebagaimana mereka telah menyampaikan semua syari’at beliau yang lain.
Maka tatkala tidak ada satu pun ulama yang menukil dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang itu, tidak hadits shahih, tidak pula dha’if; tidak hadits yang dinukil dengan sanad bersambung, tidak pula yang terputus, maka diketahui bahwa beliau tidak menyebutkan sedikit pun tentang itu.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/233-234]
Adapun pendapat ulama bahwa infus dan suntikan yang menguatkan tubuh membatalkan puasa karena fungsinya sama dengan makan dan minum maka ini pendapat yang cukup kuat dari satu sisi, akan tetapi masih kurang tepat, karena sebab pelarangan makan dan minum bukan sekedar menguatkan tubuh tetapi juga karena menikmati kelezatan.
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
إن العلة في تفطير الصائم بالأكل والشرب ليست مجرد التغذية، وإنما هي التغذية مع التلذذ بالأكل والشرب
“Sesungguhnya sebab yang membatalkan puasa dengan makan dan minum bukan hanya karena menguatkan tubuh, akan tetapi menguatkan tubuh disertai merasa lezat dengan makan dan minum tersebut.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/369]
فيكون القول الراجح في هذه المسألة قول شيخ الإسلام ابن تيمية مطلقاً، ولا التفات إلى ما قاله بعض المعاصرين
“Maka pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara mutlak, dan tidak perlu menoleh kepada pendapat sebagian ulama kontemporer dalam permasalahan ini.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/369]
ثم لدينا قاعدة مهمة لطالب العلم، وهي أننا إذا شككنا في الشي أمفطر هو أم لا؟ فالأصل عدم الفطر، فلا نجرؤ على أن نفسد عبادة متعبد لله إلا بدليل واضح يكون لنا حجة عند الله عزّ وجل
“Kemudian kita punya kaidah penting bagi Penuntut ilmu, yaitu apabila kita ragu dalam satu perkara apakah membatalkan puasa atau tidak? Maka hukum asalnya tidak membatalkan, janganlah kita lancang merusak ibadah orang yang beribadah kepada Allah kecuali dengan dalil yang jelas, yang akan menjadi hujjah bagi kita di hadapan Allah ‘azza wa jalla kelak.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/370]
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta