Saat Ramadan Kekhusyukan Pangeran Diponegoro Dikhianati Belanda hingga Jelang Lebaran Ditangkap

Carey mencatat, Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata.
Sementara hubungan baik ini sedang terbentuk, De Kock menjadi sadar bahwa Diponegoro tidak akan pernah menyerahkan diri tanpa syarat kepada gubernemen. Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.
“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey di buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro.
Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan. Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan bahwa Diponegoro sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa).
Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran. Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadhan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua lebaran, 28 Maret 1830. (diolah berbagai sumber)
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta