PURWOKERTO, iNews.id - Setelah sebelumnya dibahas mengenai penamaan Purwokerto dan asal muasal penamaannya, kali ini pembahasan dilanjutkan pada sebuah situs yang dipercaya sebagai cikal-bakal penamaan Purwokerto. Situs tersebut berada di daerah Arcawinangun.
Dikutip iNewsPurwokerto dari jurnal ilmiah berjudul "Sejarah Kota Purwokerto" karya Prof Dr Sugeng Priyadi, M Hum, menyebutkan bahwa reruntuhan candi di Arcawinangun ini berkaitan dengan cerita Adipati Kabakan dan cerita wayang Parikesit.
Dalam jurnal tersebut, dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu juga menyebutkan bahwa Adipati Kabakan merupakan pemimpin di daerah Arcawinangun. Ia memiliki seorang rival, yakni Adipati Mersi. Sekadar informasi, pada saat itu Adipati Mersi menjadi bagian aliansi dari kerajaan Pasirluhur di masa Adipati Kanda Daha berkuasa.
Pasirluhur sendiri pada kala itu menjalin hubungan dengan 25 kerajaan kecil di sekitar DAS Serayu, perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta di sisi selatan pesisir Jawa Tengah.
Hubungan antara Mersi dan Arcawinangun pada saat itu layaknya lakon Parikesit dalam cerita pasca Baratayuda. Dari cerita tutur yang beredar, Mersi dianggap sebagai tempat tinggal maharesi, Durna.
Kemudian, Aswatama dari Mersi (Adipati Mersi) mencoba untuk membunuh Parikesit (Adipati Kabakan). Naasnya, justru Aswatama dari Mersi itulah yang gugur. Dari situlah kemudian di Arcawinangun terdapat pantangan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Parikesit.
Dalam rivalitas tersebut, jasad dari Adipati Mersi dibuang ke saluran air bawah tanah yang terbuat dari batu. Jasad itu kemudian muncul terapung-apung di bale kambang (sekarang lapangan Mersi).
aluran air itu merupakan pemindahan aliran sungai Pelus oleh Sang Baka yang letaknya sendiri berada barat Sungai Pelus. Saluran itu memang muncul di Mersi setelah sebelumnya berkelak-kelok di Arcawinangun.
Ternyata, proyek pemindahan aliran sungai tersebut gagal terealisasi sehingga masyarakat sekitar menyebutnya dengan Kali Bakal. Sugeng Priyadi menjelaskan bahwa kasus pemindahan aliran tersebut mirip dengan kasus pada kisah pembangunan Candi Prambanan.
Kemudian, di masa Kolonial Belanda, orang-orang Belanda membangun bendungan sungai Pelus dengan memanfaatkan bebatuan yang berasal dari reruntuhan candi.
Ternyata, reruntuhan candi yang ada di Arcawinangun itu merupakan Makam Astana Dhuwur Mbah Karta yang terbengkalai dan orang Belanda tidak melakukan observasi terhadap situs tersebut.
Beredar cerita juga bahwa reruntuhan candi itu berkaitan dengan kisah Kamandaka dalam teks Babad Pasir.
Sugeng Priyadi dalam tulisannya menyebutkan bahwa reruntuhan candi itu diperkirakan dibangun pada masa yang tak jauh setelah masa berdirinya candi Prambanan dan tokoh bernama Baka itu sendiri dekat dengan legenda Candi Prambanan.
Selain Astana Dhuwur, terdapat pula Astana Rawen yang merupakan situs pemujaan pada dewa Matahari (Suryya).
Editor : Arif Syaefudin