PURWOKERTO, iNews.id - Hampir di setiap daerah memiliki karakter, identitas, dan kepribadian tertentu sebagai warisan masa lampau dari leluhurnya. Demikian juga dengan Banyumas. Banyumas memiliki cablaka atau blakasuta Banyumas yhang juga disebut thokmelong. Itu berlaku untuk masyarakat di Karesidenan Banyumas atau Banyumas Raya.
Menurut sejarawan dan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Banyumas, Prof Sugeng Priyadi, cablaka merupakan pusat atau inti model karakter manusia Banyumas.
“Cablaka adalah karakter yang dicetuskan secara spontan oleh manusia Banyumas terhadap fenomena yang tampak di depan mata, tanpa ditutup-tutupi. Cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan manusia Banyumas. Artinya, manusia Banyumas lebih senang berbicara apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu,”tulis Prof Sugeng dalam artikel Jurnal Ilmiah Diksi terbitan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dikutip iNews.id pada Senin (6/6/2022).
Menurut Prof Sugeng, akibat cablaka manusia Banyumas, orang lain merasakan bahwa manusia Banyumas dilihat dari sisi luar seperti tidak memiliki unggah- ungguh (etika), lugas, atau bahkan kurang ajar.
“Anggapan itu wajar saja karena cablaka gaya manusia Banyumas itu memang menimbulkan rasa yang kadang-kadang menyakitkan hati (nylekit) bagi orang lain yang tidak memahaminya atau orang yang sedang mudah tersinggung, termasuk sesama manusia Banyumas sendiri,”tulisnya.
Perilaku penjorangan, semblothongan, glewehan, atau ngomong brecuh orang Banyumas memang sering berlebih-lebihan sebagai perwujudan dari karakter cablaka tersebut. Namun, bagi sesama manusia Banyumas hal itu tidak menjadi masalah.
“Maka dari itu, cablaka manusia Banyumas harus dianggap sebagai perilaku keterusterangan, jiwa yang terbuka, akrab, atau ekspresi kebebasan untuk menyatakan sesuatu tanpa ada hal-hal yang ditutup-tutupi atau tanpa tedheng aling-aling.”
Cablaka, thokmelong, dan blakasuta, tulis Sugeng, sebenarnya memiliki maksud yang sama, yakni bicara apa adanya atau terus terang atau bersahaja.
“Cablaka dan blakasuta memuat unsur kata yang sama, blaka, yang artinya terus terang atau bersahaja. Blaka selanjutnya berasal dari kata blak (pada salah satu geografi dialek Banyumasan: blag) yang artinya menga amba atau teladan dan contoh sehingga kata ulang blak-blakan (pada salah satu geografi dialek Banyumasan: blag-blagan) berarti tanpa nganggo ditutupi dan blakasuta berarti kandha ing sabenere,”jelasnya.
Kata blaka jika dicari asal-usulnya ternyata berasal dari bahasa Jawa Kuna, balaka, atau juga Sanskerta, walaka. Balaka diartikan terus terang, sejujur-jujurnya, lurus, tanpa tedheng aling-aling atau hanya, semata-mata, saja, belaka. Kata walaka diartikan balaka, anak, bocah, kanak-kanak, atau anak-anak atau muda, belum tumbuh sepenuhnya, atau wantah, belaka, wenteyan.
“Tampaknya asal-usul kata yang berasal dari kata Jawa Kuna dan Sanskerta yang menimbulkan kata cablaka atau blakasuta,”ujarnya.
Kata cablaka ini dimungkinkan berasal dari kata bocah blaka atau disingkat menjadi cah blaka, dan selanjutnya menjadi cahblaka atau dibaca cablaka. Kata walaka yang berarti bocah, anak, kanak-kanak, anak-anak, atau muda di atas menunjukkan bahwa cahwalaka atau cawlaka berarti bocah-bocah.
“Maksudnya, anak-anak yang masih wantah atau masih apa adanya dan belum terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh luar. Anak masih memperlihatkan watak yang murni yang berbeda dengan manusia dewasa yang sudah mengalami banyak perkembangan jiwanya,”katanya.
Kata blakasuta juga sama pengertiannya dengan cablaka karena kata suta berarti anak (laki-laki dan perempuan), sais, kusir atau suta, suta biweh, anak mantu.
“Dengan demikian, cablaka atau blakasuta mengandung arti keterusterangan atau kejujuran seperti anak- anak. Atau dengan kata lain, cablaka atau blakasuta berarti kejujuran yang masih murni, lugu, atau apa adanya dan belum berubah. Anak-anak secara fitrah masih memperlihatkan kejujuran dan belum berbohong seperti orang-orang dewasa.”
Thokmelong adalah istilah yang sering muncul untuk menyatakan sesuatu yang sama dengan cablaka atau blakasuta. Thokmelong terdiri atas dua kata, yakni thok dan melong. Kata thok merupakan bunyi tiruan dari suara orang yang memukul (mengethok) bambu atau kayu. “Jadi, thokmelong mempunyai maksud hanya yang mengkilap yang tampak atau mencolok di depan mata,”katanya.
Manusia Banyumas,lanjutnya, bicara apa adanya atau thokmelong karena ia melihat sesuatu dan menyatakan sesuatu itu sebagaimana yang tampak di depan mereka. Maksudnya, manusia Banyumas tidak mengingkari kenyataan yang mereka lihat.
“Thokmelong itu sebagaimana dengan cablaka atau blakasuta juga dinyatakan secara spontan dan tidak dibuat-buat. Kata thok menunjukkan waktu seketika itu juga, bukan miki (baru saja) atau mau (tadi agak lama),”tambahnya.
Waktu seketika itu merupakan kecepatan reaksi manusia Banyumas terhadap suatu fenomena yang tidak memberikan kesempatan ia untuk berpikir dan memberikan reaksi yang artifisial.
Karena thokmelong itulah, kata-kata yang muncul menjadikan lawan bicara mendapat kejutan, yaitu sesuatu yang mengejutkan yang berakibat orang itu bisa tersinggung, tidak senang, tidak nyaman, merasa kurang dihormati, bahkan mungkin merasa dilecehkan.
“Itulah thokmelong manusia Banyumas yang sebenarnya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi merupakan suatu upaya untuk tidak mengambil jarak dengan orang lain,”ungkapnya
Hal itu didukung oleh kehidupan manusia Banyumas yang cenderung egaliter yang menjunjung kesetaraan relasi antara satu individu dengan individu lain. Maka dari itu, manusia Banyumas selalu memakai kata inyong dan kowe atau ko atau kono atau rika dalam berbahasa dialek Banyumasan.
Manusia Banyumas tidak mengenal sapa sira sapa ingsun yang cenderung merupakan representasi dari budaya feodalistik yang membedakan antara strata wong gedhe dengan wong cilik.
“Thokmelong merupakan bentuk keakraban yang diciptakan oleh manusia Banyumas yang menganggap orang lain sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat (padha-padha atau wonge dhewek) sehingga sifat itu bukan ekspresi dari sok kenal sok dekat yang di belakangnya ada maksud-maksud yang kurang baik karena manusia Banyumas tidak akan memanfaatkan kedekatannya dengan orang lain untuk kepentingan pribadi,”katanya.
Bagi manusia Banyumas memanfaatkan orang lain itu termasuk tindakan yang dikategorikan tidak etis karena di dalam rangka thokmelong itu juga ada unsur glewehan yang jelas tidak serius.
“Glewehan itu memang merupakan perilaku penjorangan atau semblothongan yang tidak harus direaksi dengan serius. Oleh karena itu, manusia Banyumas cenderung saling gleweh, saling menjorang, dan saling semblothongan yang akhirnya bermuara pada keakraban dan mengikis jarak,”jelasnya.
Salah satu cara yang terbaik untuk menghadapi cablaka atau blakasuta atau thokmelong manusia Banyumas adalah melakukan reaksi yang sama sehingga tidak merasa tersinggung atau dilecehkan karena tidak jarang muncul kata-kata jorok dan saru (brecuh) dalam percakapan sehingga manusia Banyumas menjunjung ungkapan gemblung- gemblung ari rubung (biar gila asal berkumpul) dalam rangka menjalin kebersamaan dan keakraban.
Berbicara brecuh tampaknya merupakan sesuatu yang khas di antara percakapan manusia Banyumas. Ada istilah lain yang sepadan dengan cablaka/blakasuta/thokmelong, yaitu glogok soar, yang diduga berasal dari bahasa Sunda golokgok yang berarti menuangkan air.
“Glogok soar berarti menuangkan suara apa adanya. Cablaka dalam pewayangan Jawa dan juga gagrag Banyumasan tampak pada tokoh Werkudara (Bima), Antasena, Lingsanggeni, dan panakawan Carub Bawor, serta Prabu Puntadewa yang dikenal sebagai manusia yang berdarah putih.”
Dalam adegan gara-gara, bahkan pada adegan-adegan lain juga ditunjukkan oleh dalang perilaku penjorangan yang intinya lebih mengarah kepada glewehan. Tokoh-tokoh panakawan dan Antasena oleh dalang sering dipakai untuk menunjukkan cablaka.
“Cablaka sebagai perilaku penjorangan, tetapi tokoh Puntadewa, Werkudara, dan Lingsanggeni dikategorikan thokmelong atau cablaka atau blakasuta yang serius meskipun ada juga sebuah naskah wayang dari Purbalingga dari tahun 1860 Masehi yang berisi teks yang menggunakan dewa sebagai media glewehan, misalnya Sanghyang Narada melakukan keprok bokong untuk glewehi (menggoda, mengganggu, dan bahkan ada unsur pelecehan) terhadap tapa Bagawan Palasara yang bisa dibatalkan,”paparnya.
Wayang gagrag Banyumasan selama ini menjadi media yang digunakan untuk menyatakan kecablakaan atau keblakasutaan atau kethokmelongan manusia Banyumas di antara sesama Banyumas.
“Bukankah nama Banyumas mengandung unsur banyu atau air yang dituangkan (golokgok)? Mas atau emas adalah logam mulia yang mengkilap (melong). Logam mulia berarti suatu logam yang tidak bisa dibentuk secara instan, tetapi juga tidak mudah berubah.”
Keberadaan emas tidak bisa ditutup-tutupi meskipun ia berada di tengah-tengah sampah, ia tetap emas. Banyumas merupakan simbol kejujuran dan keterusterangan.
Editor : EldeJoyosemito