JAKARTA, iNews.id - Siang itu, 8 Juni 1921, Kertosudiro ayahanda Soeharto tengah sibuk memeriksa empang di area pematang sawah di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Desa Godean, Yogyakarta. Ya, Pak Kerto sapaan warga sekitar, ia merupakan seorang perangkat desa yang biasa mengurus pembagian air untuk pengairan sawah, atau biasa disebut ulu-ulu atau jogotirto.
Ketika tengah mengecek air yang mengalir ke parit - parit, Pak Kerto yang masih berdiri di atas pematang sawah tiba - tiba mendapatkan kabar jika sang istri akan segera melahirkan. Seketika itu pula Kertosudiro langsung bergegas pulang. Suasana rumahnya pun telah ramai. Di depan pintu seorang perempuan tua, istri Kromodiryo, menyambut kehadirannya.
Kromodiryo adalah pamannya, yakni adik kandung Kertoirono, ayahnya. Kebetulan istri Kromodiryo dikenal sebagai dukun beranak. Di Dusun Kemusuk, masyarakat akrab memanggilnya Mbah Pomo atau Mbah Genduk.
“Wajahnya yang berseri-seri menandakan kegembiraan dan kepuasan hatinya. Ia baru saja menolong isteri keponakannya melahirkan seorang anak laki-laki,” tulis O.G Roeder dalam buku “Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto”.
Pak Kerto saat itu sangat gembira, meskipun tidak ia tampakkan berlebihan. Sudah lama ia memohon kepada Tuhan agar dianugerahi anak laki-laki, dan doanya dikabulkan.
Kertosudiro perlahan masuk ke dalam kamar, dan berdiri di sebelah Sukirah, istrinya yang usai melahirkan. "Saya senang kita mendapat anak laki-laki, Mas," kata istrinya kepada Kertosudiro. "Sayapun tahu, pintamu berlaku," katanya.
Kertosudiro berstatus duda saat menikahi Sukirah. Dia memiliki nama lahir Wagiyo, namun di Kemusuk akrab dipanggil Panjang.
Pada saat menikah yang pertama, namanya bersalin menjadi Kertorejo. Pernikahan yang dikarunia dua orang anak, yakni laki-laki dan perempuan itu tak bertahan lama. Pasangan suami istri itu bercerai. Kertorejo mengganti nama menjadi Kertosudiro saat menikahi Sukirah yang berstatus lajang.
Kehadiran bayi laki-laki itu membuat Kertosudiro girang. Bayi yang masih merah itu digendongnya. Mendapatkan anak laki-laki yang sehat dan kuat sebagaimana bayi-bayi lain di kampung Kemusuk, membuatnya bahagia. "Ya, saya selalu mengharapkan anak laki-laki. Tuhan mengabulkan permintaan kita. Kita mesti bersyukur kepadaNya, dan seminggu lagi kita adakan selamatan untuk memberi nama".
Di Kemusuk, Kertosudiro dikenal sebagai sosok sederhana yang penampilannya selalu njawani. Dia selalu mengenakan baju adat Jawa, lengkap dengan kain panjang serta blangkon di kepala. Secara ekonomi, Kertosudiro bukan termasuk kalangan berada. Dia tidak memiliki tanah. Sawah seluas kurang dari satu hektar yang dikerjakan, merupakan sawah bengkok dari jabatannya sebagai ulu-ulu.
Karena tak mampu membeli kerbau, Kertosudiro menggarap sawahnya dengan cara mencangkulinya sendiri. Kendati demikian, kelahiran bayi laki-laki harus dirayakan dengan meriah. Tepat seminggu pascakelahiran putranya, Kertosudiro menggelar hajat selamatan. Diundanglah semua saudara, sanak kerabat, tetangga dekat untuk berkumpul dan makan bersama.
Doa semoga bayi yang baru lahir diberi panjang umur, kesehatan, keselamatan dan murah rezeki dipanjatkan sama-sama. Atas petunjuk tetua kampung, bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Saat bayi itu dilahirkan, di langit tidak terlihat tanda-tanda yang kudus. Tidak ada letusan gunung berapi dan tiada ramalan tentang seorang "Putera Fajar".
"Kelahiran Soeharto tidak berbeda dengan kelahiran anak-anak lainnya di kampung itu, dengan orang tua yang melarat tetapi berbesar hati,” kata O.G Roeder dalam buku "Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto".
Harapan Pak Kerto mendapat anak laki-laki tidak muluk-muluk. Dia membayangkan si anak nanti dapat membantunya di sawah dan dengan kehendak Tuhan akan dapat mewarisi pekerjaannya sebagai ulu-ulu.
Namun Tuhan berkehendak lain. Bayi laki-laki bernama Soeharto yang lahir paska tiga tahun perang dunia pertama dan krisis ekonomi tengah melanda di mana-mana itu, kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.
Soeharto menjabat Presiden RI selama 32 tahun, yakni mulai 12 Maret 1967 dan berakhir dengan diturunkan paksa pada 21 Mei 1998. Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, pada usia 86 tahun.
Editor : Arbi Anugrah