Pahlawan Nasional: Refleksi Masa Lalu untuk Arah Bangsa

Oleh : Ilham Alhamdi
PENGANUGERAHAN gelar pahlawan nasional bukan semata bentuk penghormatan simbolis terhadap tokoh sejarah. Lebih dari itu, ia menjadi cerminan cara bangsa ini membingkai ingatan kolektif, merangkai narasi bersama, serta membangun legitimasi politik atas sejarah yang tak jarang sarat luka dan kontroversi. Ketika Kementerian Sosial kembali membuka pintu untuk mengusulkan nama Presiden Soeharto, perdebatan yang muncul tidak sekadar soal pengakuan, tapi juga menyentuh esensi: siapa yang layak dijadikan simbol semangat kebangsaan?
Sejak lebih dari satu dekade silam, nama Soeharto berulang kali masuk dalam nominasi pahlawan nasional. Namun, setiap kali wacana ini mencuat, masyarakat sipil bereaksi dengan keras. Tak hanya karena pencapaiannya dalam pembangunan, tetapi juga karena sejarah kelam yang membekas: tragedi 1965, penculikan aktivis, hingga peristiwa berdarah Semanggi menjelang keruntuhan Orde Baru.
Dalam kacamata hukum administrasi, pemberian gelar ini diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009. Meski kriteria formal telah diatur, proses pengusulan selalu dibayangi oleh pertimbangan moral dan persepsi publik. Artinya, meskipun prosedurnya administratif, keputusan akhir kerap bernuansa politis dan sarat interpretasi.
Secara struktur, keputusan pemberian gelar merupakan bentuk diskresi presiden, berdasarkan rekomendasi dari Dewan Gelar melalui Kementerian Sosial. Namun, diskresi ini tidak boleh dilepaskan dari prinsip kehati-hatian, asas kelayakan, serta pentingnya keadilan historis. Di titik ini, terdapat ketegangan antara urgensi rekonsiliasi nasional dan tuntutan akan keadilan memori dari publik.
Bangsa yang sehat bukan hanya menghormati para pahlawannya, tetapi juga berani menghadapi sejarah dengan kepala tegak. Rekonsiliasi bukan melupakan, tapi menghadirkan kembali ingatan secara jujur.
Kontroversi semacam ini tak hanya melibatkan Soeharto. Nama Sultan Hamid II, perancang lambang Garuda Pancasila, hingga kini belum mendapatkan gelar pahlawan, meskipun kontribusinya pada simbol negara sangat signifikan. Namun bayang-bayang keterkaitannya dengan Peristiwa Westerling 1950 membuat pengakuan terhadapnya berjalan di tempat, meskipun tak ada bukti kuat mengenai keterlibatannya dalam pelanggaran HAM.
Hal ini menunjukkan bahwa memori kolektif bangsa kita masih jauh dari tuntas. Di tengah ketiadaan mekanisme rekonsiliasi sejarah yang memadai, penganugerahan gelar justru dapat memicu konflik simbolik. Padahal, pendekatan bina damai mengajarkan bahwa pengakuan, penyembuhan kolektif, dan ruang dialog terbuka sangat diperlukan untuk merawat ingatan bangsa secara sehat.
Contoh lain adalah Mohammad Natsir. Meski pernah ditahan pada masa Soekarno, ia tetap diberi gelar pahlawan nasional pada tahun 2008 berkat peran pentingnya dalam Mosi Integral yang menyatukan Indonesia. Ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi politik dan pemulihan nama baik dapat menjadi bagian dari agenda negara yang lebih luas.
Idealnya, negara tidak sekadar berpijak pada prosedur, tetapi turut menciptakan ruang diskusi yang memungkinkan terjadinya dialog lintas perspektif. Pengusulan tokoh seperti Soeharto semestinya tidak dijadikan keputusan sepihak, melainkan sebagai momentum untuk memperkuat pemahaman sejarah masyarakat.
Editor : Arbi Anugrah