Insiden Angin Topan Mengawali Berdirinya Kota Purwokerto

“Angin topan yang diceritakan secara tutur berlangsung selama 40 hari 40 malam menyebabkan kerusakan yang parah sehingga ibu kota dipindahkan ke desa Peguwon (asal mula Purwokerto),” begitulah tulis Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum dikutip dari jurnal ilmiahnya yang berjudul “Sejarah Kota Purwokerto” dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 9, No. 1, Februari 2008, 115.
Sebelumnya, telah dibahas mengenai asal mula nama Purwokerto dan berbagai temuan tentang adanya peradaban di Purwokerto di era kerajaan. Kali ini, pembahasan itu berlanjut sampai pada berdirinya Kota Purwokerto. Masih sama seperti sebelumnya, acuan utama dalam seri sejarah ini adalah jurnal ilmiah berjudul “Sejarah Kota Purwokerto” tulisan Sugeng Priyadi.
Usai Perang Diponegoro (1825-1830), Pemerintah Belanda mengambil alih Banyumas yang merupakan daerah mancanegara kilen (barat) dan membentuk Karesidenan Banyumas. Pembentukan Karesidenan Banyumas tersebut kemudian membuat sistem Kasepuhan dan Kanoman sebagai dua jabatan wedana bupati tersebut dihapuskan. Saat itu, Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch membuat surat putusan mengenai pembentukan Karesidenan, afdeeling, dan kabupaten di Karesidenan Banyumas. Berdasarkan surat keputusan yang terbit tanggal 18 Desember 1830 tersebut, dibentuklah empat kabupaten baru, yakni Banyumas (Banjoemas), Ajibarang (Adji-Baran), Dayeuhluhur (Daijoe-Loehoer), dan Purbalingga (Probolinggo). Meski demikian, dalam Resolutie van den 22 Agustus 1831 No. 1, disebutkan bahwa telah diangkat 5 orang pejabat di Karesidenan Banyumas.
“(1) Ngabehi Cakranegara Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas, (2) Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangakat menjadi Bupati Ajibarang, (3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi Bupati Banjarnegara, (4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan (5) Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga. Kelima pejabat di atas semuanya memakai gelar raden tumenggung,” terang Priyadi dalam jurnal ilmiahnya.
Tokoh bernama Raden Tumenggung (RT) Mertadiredja II atau Kanjeng Pangeran Arya Mertadiredja II inilah sosok dibalik berdirinya Kota Purwokerto. Secara legenda, beliau adalah Bupati Ajibarang penggati Tumenggung Jayasinga atau dikenal dengan nama Singadipa yang pada saat itu memimpin wilayah distrik Purwokerto, Ajibarang, Jatilawang dan Jambu (Atmodikoesoemo, 1988: 85).
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, angin topan yang berlangsung selama 40 hari 40 malam itu terjadi karena Raden Adipati Mertadiredja II mengangkat putri Singadipa sebagai anak angkatnya. Perlu diketahui bahwa saat itu Singadipa merupakan kesatria asal Ajibarang dalam Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Singadipa sangat anti dengan kolonial Belanda, sedangkan Bupati Ajibarang kala itu adalah bawahan atau antek Belanda, sehingga tak mengherankan bahwa Singadipa tidak berkenan atas apa yang dilakukan oleh Raden Adipati Mertadiredja II. Atas terjadinya insiden angin topan itulah ibu kota yang semula berada di Ajibarang, dipindahkan ke Desa Peguwon (nama desa sebelum menjadi Purwokerto yang diduga merupakan wilayah Kadipaten Wirasaba). Dengan demikian, nama Kabupaten Ajibarang pun berubah menjadi Kabupaten Purwokerto.
“Perpindahan ke Purwokerto tercatat oleh Pangeran Mertadiredja III pada 6 Oktober 1832 (Soedarmadji, 1981: 5 & 1991: 51). Jadi, Kabupaten Ajibarang hanya berlangsung dari tanggal 22 Agustus 1931 sampai 6 Oktober 1832. Jadi, hanya 1 tahun 1 bulan 15 hari. Perpindahan ke Purwokerto menjadikan Raden Adipati Mertadiredja II disebut sebagai pendiri Kota Purwokerto dan tanggal 6 Oktober 1832 adalah hari jadi Kabupaten atau Kota Purwokerto sebagai pusat politik baru,” tulus Priyadi dalam jurnal ilmiahnya.
Sebelum Belanda mengambil alih, Banyumas merupakan ibu kota mancanegara kilen (barat) sekaligus kota terbesar di Karesidenan Banyumas, sedangkan Kabupaten Purwokerto adalah kabupaten kecil. Namun, pada tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dihapus dan digabung dengan Kabupaten Banyumas. Dengan demikian, pada tanggal 26 Februari 1936, Ibu Kota Karesidenan dan Kabupaten Banyumas dipindahkan ke Purwokerto. Selanjutnya, pada bulan Januari 1937 pendapa Si Panji turut dipindahkan dengan alasan Pendopo Purwokerto kala itu kiranya akan roboh akibat banyak kayu yang keropos.
Padahal, Pendopo Si Panji yang usianya lebih tua tidak ada satu bagian pun yang rusak (Gandasubrata, 1952: 28). Bupati Banyumas yang kala itu adalah Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata dan bukan Kanjeng Pangeran Arya Gandasubrata seperti yang ditulis oleh Brotodiredjo & Ngatidjo Darmosuwondo (1969: 83) pun ikut pindah ke Purwokerto pada tanggal 5 Maret 1937. Kiranya, menurut Priyadi, terdapat alasan tersendiri dibalik pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas tersebut.
“Menurut Sudjiman, kota Purwokerto lebih strategis dan dapat berkembang seiring dibukanya jalan kereta api. Namun, alasan yang subjektif adalah Sudjiman terlalu mencintai kota Purwokerto seperti kakeknya karena kota itu didirikan oleh kakek buyutnya, Kanjeng Pangeran Mertadiredja II. Kefanatikan Sudjiman terhadap Purwokerto menyebabkan kedua orang anaknya diberi nama Adjito, mantan Kepala Pengadilan Negeri Semarang (akronim Ajibarang-Purwokerto) dan Purwoto, mantan Ketua Mahkamah Agung RI (akronim dari Purwokerto),” jelas Priyadi dalam jurnal ilmiahnya.
Editor : EldeJoyosemito