Soeharto sebenarnya pergi membawa misi menengahi konflik serta menunjukkan simpatinya pada umat Muslim di sana yang mengalami penindasan oleh sekelompok etnis. Setelah satu jam perjalanan dari Bandara Kroasia, Soeharto akhirnya tiba di Bandara Bosnia.
Namun, ketika sampai di Bosnia, tiba-tiba Soeharto menolak menggunakan rompi antipeluru yang sudah dipersiapkan. Bahkan, Soeharto meminta Sjafrie untuk membawakan rompi antipeluru tersebut.
"Eh Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," kata Sjafrie menirukan ucapan Soeharto.
Sikap Soeharto yang terbilang nekat itu membuat abituren Akademi Militer (Akmil) 1974 ini kebingungan. Apalagi, Sjafrie yang kenyang dengan pengalaman tempur di medan operasi melihat sangat banyak sniper menggunakan amunisi kaliber 12.7 mm di sekitar bandara dalam posisi siap tembak.
Suasana pun semakin mencekam lantaran suara dentuman meriam sangat jelas terdengar. Dengan kemampuannya di bidang intelijen Sjafrie langsung meminjam jas dan peci hitam yang sama persis dengan yang dipakai Soeharto untuk mengelabui para sniper yang ada di sekitarnya. Mantan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) terus menempel Soeharto demi melindungi orang nomor satu di Indonesia ketika itu.
"Ini untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," kata Sjafrie.
Soeharto kemudian disambut Pasukan Kontingen Garuda XIV yaitu prajurit TNI yang bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Bosnia. Soeharto dijemput menggunakan kendaraan lapis baja bertuliskan UN.
Sjafrie langsung membawa Soeharto masuk ke kendaraan lapis baja tersebut menuju Istana Kepresidenan Bosnia untuk bertemu Presiden Bosnia Alja Izetbegovic. Meski telah masuk ke dalam kendaraan lapis baja bukan berarti sudah aman.
Selama perjalanan, Soeharto harus melewati sejumlah titik rawan dari para penembak jitu, sepeti Sniper Valley atau yang dikenal dengan sebutan lembah sniper. Di lembah itu sangat banyak penembak jitu yang siap membidik para targetnya.
Editor : Arif Syaefudin
Artikel Terkait