Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Tanah Suci Makkah. Setibanya di ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Ia bertekad meneruskan cita-cita ayahandanya sebagai ulama dan sastrawan. Banyak karya yang dihasilka Hamka, di antaranya menerbitkan Majalah Pedoman Masyarakat dan novel Di Bawah Lindungan Kakbah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Dari situlah namanya mencuat sebagai sastrawan terkemuka. Baca juga: 10 Perempuan Diangkat Jadi Pejabat Senior Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Keponakan Buya Hamka, Hanif Rasyid mengatakan, di usia 13 tahun, orangtua Hamka berpisah.
Begitu bertemu dengan Hamka, dengan membawa emosi dari Padang Panjang, ia marah. Hal ini menjadikan Hamka berpikir bahwa ayahnya tidak sayang terhadap dirinya. Kemudian dia pergi ke tepi danau dan berpikir mana yang terbaik. Menjadi nakal atau menjadi ulama. Ayahnya pernah berkata bahwa 'aku tidak bercita-cita kau jadi anak nakal. Aku bercita-cita kau menjadi ulama'," ucap Hanif dalam sebuah perbincangan dikutip dari channel YouTube, Beranda Islami.
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya dan mengikuti langkah sang paman ke Tanah Jawa. Tak ada pendidikan formal yang diampu di sana. Perlahan tapi pasti Hamka pun menjadi ulama meski secara otodidak. "Beliau yang saat itu berusia 16 tahun, kemana pamannya pergi dia pasti ikut. Dia mendengar uraian tentang politik dan penjajahan Belanda dari HOS Tjokroaminoto, dia belajar agama dengan Kiai Fahruddin, belajar tafsir dengan Ki Bagus Hadi Kusumo dan mempelajari ilmu kemasyarakatan kepada Suryo Pranoto. Semuanya ulama Jawa. Berilmulah anak yang nakal ini. Matanya yang keras dan tajam, mulai melembut dan hatinya mulai tenang," terang Hanif.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait