Dikatakan sebagai bengawan Semanggi karena tepinya banyak tumbuh pohon Semanggi. Dari bengawan Semanggi ini dia bergerak menuju ke Demak naik perahu rakit, yang didorong oleh 40 buaya.
Perahu rakit dengan 40 buaya itu simbol. Jaka Tingkir masuk ke Demak dengan dukungan 40 preman. Tujuannya supaya dia bisa meniti karir di Demak
Kemudian dia mendaftar sebagai pengawal pribadi raja. Ada kejadian yang membuat Sultan Trenggana terpana, diceritakan di Babad Tanah Jawi.
“Keberhasilannya salto melompati kolam masjid Demak dengan lompatan ke belakang –tanpa sengaja karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan parga pengiringnya, memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan ia pun dijadikan kepala tamtama.”
Kisah itu juga diceritakan oleh Raden Sumito Joyo Kusumo atau Kandjeng Sri Sultan Suryoalam ,Sultan Demak sekarang.
"Yaa....Jaka Tingkir melompat kolam karena jalannya mau dilewati Kandjeng Sultan Suryoalam ke 3 atau Pangeran Trenggono, "ungkapnya.
Tetapi, jalan hidup Jaka Tingkir tidak selalu mulus. Ia sempat diusir dari Demak. Ia bermaksud menguji calon prajurit baru yang memiliki ilmu kebal, tapi Jaka Tingkir tidak sengaja justru membunuhnya. Tusuk konde yang dilempar menancap tepat di jantung calon prajurit itu.
Jaka Tingkir lantas kembali ke desanya. Ia bertapa dan berguru kepada Kiai Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Kiai Buyut dari Banyubiru.
Suatu ketika di Demak ada Seekor kerbau besar mengamuk. Para prajurit tidak mampu menghentikannya.
Jaka pergi ke Demak. Kerbau itu dipukul dengan tangan kosong sehingga kepalanya pecah. Ia mendapatkan kembali kedudukan sebagai kepala pengawal raja.
De Graaf menuliskan, beberapa waktu kemudian, ia menikah dengan putri ke-5 raja (Trenggana), menjadi bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak. Negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana.
Kemudian Sultan Trenggana wafat saat menyerang Pasuruan . Usai pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Ia kemudian memindahkan pemerintahan Demak ke Pajang, sekarang Kartasuro.
Editor : Elde Joyosemito