Cerita Kemerdekaan dan Nasionalisme Plastik

Tim iNewsPurwokerto.id
Jarot C Setyoko. (Foto Dok Pribadi)

Bahwa nasionalisme adalah ide besar yang dipisahkan dari persoalan-persoalan populis kerakyatan. Maka sepanjang era perubahan ini kita bersaksi, mewabahnya praktik korupsi atau rendahnya etika di atas medan politik partisan, seperti tak pernah ‘nyambung’ dengan ide kebangsaan yang tafsirnya selalu didominasi oleh elit pengelola negara.

Kedua, sepanjang lebih dari separuh usianya, Glenn -- dan kita yang sepantar dengannya -- pasti bersaksi, ide kebangsaan yang mempertautkan kita sebagai entitas komunal telah habis-habisan diperalat sebagai instrumen hegemonik. Nasionalisme hanya ditafsir dari satu sisi: Pengorbanan warga terhadap negara. 

Dan ketika (menggunakan istilah Ernest Renan) ‘le desir de vivre ensemble’ atau hasrat hidup bersama tersebut telah dikelola sebagai ‘nation state’, maka dengan serta merta para elit politik membajaknya dengan mengunggulkan kehendak mereka sendiri. 

Lantas tanggungjawab negara terhadap rakyat (yang dalam ilmu politik kerennya disebut ‘obligation of service providers’), hanya dinyatakan sebagai jurus silat lidah dalam perdebatan memperebutkan legitimasi khalayak. 

Ketiga, sialnya selama dua puluh empat tahun menapak di era pasar liberal ini, ide nasionalisme masih tersesat dari khitahnya, hingga nyangkut di papan reklame dan keriuhan pasar. 

Gambar kebangsaan kita dimaknai tak lebih dari median kepentingan industri, yang digunakan semata-mata untuk meraup keuntungan atas kapital. Sungguh tak mudah bagi kita untuk mencari relevansi yang signifikan, antara pesta-pesta entertainment yang  dihelat stasiun televise atau agen pemasaran produk, dengan spirit perjuangan meraih kemerdekaan, tujuh puluhan tahun silam .

Kemudian kita seperti kembali dihadapkan pada pertanyaan Renan, seratus empat puluh tahun lampau, “Qu'est-ce qu'une nation?”. Bangsa, kata Renan, tumbuh dari dua hal mendasar, kemuliaan bersama yang silam, dan tekad bersama melewati hari esok. 

Bagi filsuf Perancis ini, tonggak utama kedirian bangsa adalah ‘plebisit’: Persetujuan dan hasrat bersama dengan konsekwensi pengorbanan-pengorbanan dari warganya.

Atau sejatinya bangsa dan rasa kebangsaan itu adalah komunitas politik yang terbayangkan, (‘imagined political community’), seperti yang dideskripsikan Benedict Anderson. 

Editor : EldeJoyosemito

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network