Cerita Kemerdekaan dan Nasionalisme Plastik

Tim iNewsPurwokerto.id
Jarot C Setyoko. (Foto Dok Pribadi)

Sebuah bayangan kebersamaan yang distimulasi dengan lambang-lambang yang berlaku kolektif, lalu, menginjeksi kesadaran sekelompok manusia, meski dalam ranah individual mereka sesungguhnya tak bertaut-senggol kepentingan.

Kita tahu, para perintis Republik ini juga menggunakan latar pemikiran itu ketika mereka mengkreasi wujud Indonesia. Soekarno bahkan berulang-ulang  menyitir Renan dalam tulisan dan pidatonya. 

Toh Soekarno tetap mengakui, pengorbanan warga hanyalah satu fase dalam laku nasionalisme. Sebab di hari lain Soekarno juga menjelaskan (kali ini beliau menyitir sosiolog Herbert Spencer) bahwa kebangkitan nasionalisme Indonesia merupakan ‘reactief verzet van verdrukte elementen’. 

Reaksi perlawanan dari kaum tertindas. Dengan demikian pada mulanya nasionalisme juga dimaknai sebagai semangat pembebasan dari ketidakadilan dan keterjajahan. Soekarno telah menyatakan itu jauh hari ketika udara kemerdekaan belum tercium baunya, yakni pada bulan Juni 1930 saat ia diadili di hadapan pengadilan kolonial.

Lalu dari sidang BPUPKI I Juni 1945 kita juga membaca, negara bangsa yang dicita-citakan Soekarno bukanlah negara yang semata-mata menghadirkan ‘politieke democratie’. Namun sebuah bangunan negeri yang berprinsipkan  ‘sociale rechtvaardigheid’. Sebangun negeri yang memiliki tanggungjawab menyelenggarakan kesejahteraan sosial untuk rakyatnya. 

Oleh karena itulah kata kawan saya, Budiman Sujatmiko, Soekarno mengartikan kemerdekaan ‘hanya’ sebagai jembatan emas. Sekalipun terbuat dari emas, jembatan bukan tujuan utama. Sebab yang menjadi tujuan masih berada di ujung jembatan kemerdekaan, yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial.  

Tujuan itu dengan gamblang bisa kita baca dalam redaksional mukadimah konstitusi kita, “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Kita tahu, cita-cita besar seperti itu memang tak bisa diwujudkan dengan nasionalisme plastik yang ditolak Glenn. Juga bukan nasionalisme hegemonik yang pada praksisnya justeru menyulut sikap warga bangsa yang anti-nasionalis. 

Sebab sekali lagi, jika kita lacak khitahnya, nasionalisme adalah spirit yang dinyalakan demi dari ketidakadilan, kemiskinan dan keterbelakangan. Bukan yang plastik, tetapi juga bukan alat hegemonik.

Penulis tinggal di pinggir Kali Kranji, Purwokerto. Saat ini sedang belajar menjadi penimbul atau dalang ebeg.      

Editor : EldeJoyosemito

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network