Cerita Kemerdekaan dan Nasionalisme Plastik

Tim iNewsPurwokerto.id
Jarot C Setyoko. (Foto Dok Pribadi)

Oleh: Jarot C Setyoko

Kegairahan itu mungkin telah kembali, setelah dua kali ‘mangsan’ dirundung pandemi, atau sebelumnya karena perselisihan yang berpangkal pada hajat politik elektoral: pilihan presiden yang membelah masyarakat kita sedemikian rupa. Suasana ‘semanger’ itu khas pitulasan. 

Di sepanjang jalan lampu hias berkerlap bak gairah yang kembali menyala. Juga umbul-umbul gula kelapa, yang kata Ki Dalang, “Pindha bebarisaning jati ngarang kang gegayuh tawang.”

Kegairahan juga mulai naik pasang di rongga batin saya, hingga sepatah kalimat menginterupsi pikiran saya. “Kita sudah capek sama nasionalisme yang sifatnya plastik”. 

Kata-kata itu saya kutip bukan dari pandangan seorang akademisi, politisi atau aktivis gerakan, namun dari ‘dopokan’ singkat dengan Almarhum Glenn Fredly, empat tahun silam. Glenn, memang seorang figur publik, namun kita lebih mengenal lagunya dibanding perspektif intelektualitasnya. 

Terasa aneh ketika itu diucapkan oleh seorang pelaku panggung selebritas, yang kita tahu selalu dikemas dalam ‘dunia plastik’ itu sendiri. 

Lalu Glenn menjelaskan, nasionalisme plastik yang ia maksudkan adalah nasionalisme yang hanya berhenti pada kemasan, dan tidak menyentuh substansi nilai kebangsaan. 

Glenn mungkin terkesan hiperbolik, namun bagi saya pernyataannya tidak salah.  

Setidaknya ada tiga hal sebagai latar penjelasnya. 

Pertama, seperti halnya sebagian besar kita yang lahir setelah tahun ’70-an, Glenn pasti juga melewati pengalaman sosial yang sama dengan kita. 

Bahwa nasionalisme adalah ide besar yang dipisahkan dari persoalan-persoalan populis kerakyatan. Maka sepanjang era perubahan ini kita bersaksi, mewabahnya praktik korupsi atau rendahnya etika di atas medan politik partisan, seperti tak pernah ‘nyambung’ dengan ide kebangsaan yang tafsirnya selalu didominasi oleh elit pengelola negara.

Kedua, sepanjang lebih dari separuh usianya, Glenn -- dan kita yang sepantar dengannya -- pasti bersaksi, ide kebangsaan yang mempertautkan kita sebagai entitas komunal telah habis-habisan diperalat sebagai instrumen hegemonik. Nasionalisme hanya ditafsir dari satu sisi: Pengorbanan warga terhadap negara. 

Dan ketika (menggunakan istilah Ernest Renan) ‘le desir de vivre ensemble’ atau hasrat hidup bersama tersebut telah dikelola sebagai ‘nation state’, maka dengan serta merta para elit politik membajaknya dengan mengunggulkan kehendak mereka sendiri. 

Lantas tanggungjawab negara terhadap rakyat (yang dalam ilmu politik kerennya disebut ‘obligation of service providers’), hanya dinyatakan sebagai jurus silat lidah dalam perdebatan memperebutkan legitimasi khalayak. 

Ketiga, sialnya selama dua puluh empat tahun menapak di era pasar liberal ini, ide nasionalisme masih tersesat dari khitahnya, hingga nyangkut di papan reklame dan keriuhan pasar. 

Gambar kebangsaan kita dimaknai tak lebih dari median kepentingan industri, yang digunakan semata-mata untuk meraup keuntungan atas kapital. Sungguh tak mudah bagi kita untuk mencari relevansi yang signifikan, antara pesta-pesta entertainment yang  dihelat stasiun televise atau agen pemasaran produk, dengan spirit perjuangan meraih kemerdekaan, tujuh puluhan tahun silam .

Kemudian kita seperti kembali dihadapkan pada pertanyaan Renan, seratus empat puluh tahun lampau, “Qu'est-ce qu'une nation?”. Bangsa, kata Renan, tumbuh dari dua hal mendasar, kemuliaan bersama yang silam, dan tekad bersama melewati hari esok. 

Bagi filsuf Perancis ini, tonggak utama kedirian bangsa adalah ‘plebisit’: Persetujuan dan hasrat bersama dengan konsekwensi pengorbanan-pengorbanan dari warganya.

Atau sejatinya bangsa dan rasa kebangsaan itu adalah komunitas politik yang terbayangkan, (‘imagined political community’), seperti yang dideskripsikan Benedict Anderson. 

Sebuah bayangan kebersamaan yang distimulasi dengan lambang-lambang yang berlaku kolektif, lalu, menginjeksi kesadaran sekelompok manusia, meski dalam ranah individual mereka sesungguhnya tak bertaut-senggol kepentingan.

Kita tahu, para perintis Republik ini juga menggunakan latar pemikiran itu ketika mereka mengkreasi wujud Indonesia. Soekarno bahkan berulang-ulang  menyitir Renan dalam tulisan dan pidatonya. 

Toh Soekarno tetap mengakui, pengorbanan warga hanyalah satu fase dalam laku nasionalisme. Sebab di hari lain Soekarno juga menjelaskan (kali ini beliau menyitir sosiolog Herbert Spencer) bahwa kebangkitan nasionalisme Indonesia merupakan ‘reactief verzet van verdrukte elementen’. 

Reaksi perlawanan dari kaum tertindas. Dengan demikian pada mulanya nasionalisme juga dimaknai sebagai semangat pembebasan dari ketidakadilan dan keterjajahan. Soekarno telah menyatakan itu jauh hari ketika udara kemerdekaan belum tercium baunya, yakni pada bulan Juni 1930 saat ia diadili di hadapan pengadilan kolonial.

Lalu dari sidang BPUPKI I Juni 1945 kita juga membaca, negara bangsa yang dicita-citakan Soekarno bukanlah negara yang semata-mata menghadirkan ‘politieke democratie’. Namun sebuah bangunan negeri yang berprinsipkan  ‘sociale rechtvaardigheid’. Sebangun negeri yang memiliki tanggungjawab menyelenggarakan kesejahteraan sosial untuk rakyatnya. 

Oleh karena itulah kata kawan saya, Budiman Sujatmiko, Soekarno mengartikan kemerdekaan ‘hanya’ sebagai jembatan emas. Sekalipun terbuat dari emas, jembatan bukan tujuan utama. Sebab yang menjadi tujuan masih berada di ujung jembatan kemerdekaan, yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial.  

Tujuan itu dengan gamblang bisa kita baca dalam redaksional mukadimah konstitusi kita, “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Kita tahu, cita-cita besar seperti itu memang tak bisa diwujudkan dengan nasionalisme plastik yang ditolak Glenn. Juga bukan nasionalisme hegemonik yang pada praksisnya justeru menyulut sikap warga bangsa yang anti-nasionalis. 

Sebab sekali lagi, jika kita lacak khitahnya, nasionalisme adalah spirit yang dinyalakan demi dari ketidakadilan, kemiskinan dan keterbelakangan. Bukan yang plastik, tetapi juga bukan alat hegemonik.

Penulis tinggal di pinggir Kali Kranji, Purwokerto. Saat ini sedang belajar menjadi penimbul atau dalang ebeg.      

Editor : EldeJoyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network