Kisah Prajurit Kopassus Sembunyi di Tumpukan Mayat Agar Lolos Dari Serangan Belanda di Papua

Sindonews, Sucipto
Prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tak hanya hebat dalam pertempuran, tapi juga dalam hal penyamaran. (Foto: Penkopassus).

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id – Aksi perebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari tangan Belanda di tanah Papua pernah dilakukan oleh prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Bahkan, pasukan elite TNI AD yang sebelumnya bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ini rela tidur selama lima hari di tengah tumpukan mayat.

Belanda pada saat itu bahkan tak dapat berkutik dengan keberanian pasukan Kopassus, hingga menyerah dan angkat kaki dari tanah Papua hingga Papua kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. 

Tak hanya sampai situ, usai Belanda angkat kaki dari NKRI, prajurit Kopassus kembali dihadapkan aksi kelompok bersenjata peninggalan Belanda yang memberontak dan ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Dalam buku “Sintong Panjaitan: Perjalanan Prajurit Para Komando” dikisahkan bagaimana Sintong harus berjuang keras menundukkan kelompok pemberontak Lodewijk Mandatjan yang mengacau di Papua. 

Pemberontakan itu menyebabkan 14.000 orang terpaksa masuk ke hutan untuk menghindari kekerasan oleh kelompok bersenjata Lodewijk. Perjuangan Sintong pun melakukan pembersihan dan pengamanan hingga berhasil. 

Meski begitu, ada peristiwa menegangkan ketika nyawa Sintong nyaris saja melayang saat sebutir peluru melintas di atas kepalanya.  

Saat itu, Tim RPKAD melakukan pembersihan di dalam kota Kecamatan Warmare. Siang harinya Tim RPKAD kembali ke Manokwari.Truk yang mengangkut pasukan harus melewati daerah perbukitan yang rawan terjadi pernyergapan. 

Setelah berhenti di ketinggian, Tim RPKAD termasuk Sintong turun dari truk untuk melakukan orientasi medan. Sintong duduk bersebelahan dengan Kasi I/Intelijen Korem 171/Manokwari Mayor Vordeling yang sedang merokok. 

Tiba-tiba mereka ditembak oleh pemberontak dari jarak dekat yang hanya berjarak 6 meter dari arah jurang. Beruntung tembakan tersebut tidak mengenai kepala Sintong. Sebab pada saat bersamaan Sintong sedang menggaruk kaki yang digigit semut merah.

Sembunyi Ditumpukan Mayat

Aksi heroik juga dilakukan Prajurit Dua (Prada) Pardjo pada awal-awal perebutan Irian Barat pada 1961-1962. Peristiwa tersebut berawal ketika pasukan gabungan Kopassus bersama Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang kini bernama Korps Pasukan Khas (Paskhas) pasukan dipimpin Letnan Dua (Letda) Inf Agus Hernoto, diterjunkan ke dalam hutan rimba Papua.

Dalam upaya penyusupan, Pardjo bersama rekan-rekannya disergap pasukan Korps Marinir Kerajaan Belanda (Korps Mariniers) di daerah Fakfak. Karena kekuatan yang tak seimbang membuat pasukan gabungan terdesak. Berdasarkan instruksi yang diberikan pimpinan, jika kalah jumlah maka seluruh prajurit harus mundur ke dalam hutan.

Ketika keadaan tenang, pasukan gabungan ini pun keluar dari hutan untuk kembali melakukan penyusupan. Namun, pasukan gabungan ini dikejutkan dengan kondisi sebuah kampung yang telah rata dengan tanah akibat dibakar tentara Belanda. Melihat kondisi pasukan gabungan yang mulai menurun. Letda Inf Agus Hernoto memutuskan untuk beristirahat di sebuah kebun pala.

Belum sempat melepas lelah, tiba-tiba muncul serangan mendadak dari pasukan Marinir Belanda. Kontak tembak pun tak terelakan. Dalam pertempuran itu, Agus Hernoto mengalami luka tembak di kedua kakinya. Di kemudian hari, kedua kaki Agus Hernoto harus diamputasi karena membusuk.

Pada pertempuran sengit tersebut tiga anggota PGT dan dua anggota RPKAD gugur. Begitu juga Pardjo, dia pun roboh usai terkena terjangan peluru tentara Belanda. 

Tak kehilangan akal, sebagai upaya menyelamatkan diri dari serangan pasukan Belanda, Pardjo kemudian merangkak, bergerak perlahan untuk bersembunyi di balik jasad rekan-rekannya yang telah gugur. Pardjo bahkan menyamar menjadi mayat sehingga dianggap telah tewas demi menyelamatkan diri. Apalagi, usai pertempuran tentara Belanda terus melakukan patroli.

Karena keadaan itu, membuat Pardjo tidak bisa bergerak dari lokasinya. Bahkan, Pardjo terpaksa harus tidur selama lima hari di antara jasad teman-temannya yang telah gugur. Upaya penyelamatan itu pun membuahkan hasil. Pardjo akhirnya diselamatkan oleh warga setempat yang membawanya ke permukiman untuk dirawat.

 

Editor : Arbi Anugrah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network