Kedua; golongan orang yang bahagia di dunia, namun sengsara di akhirat, sukses di dunia gagal di akhirat, plus dunia minus akhirat.
Tidak sedikit orang yang bisa dikategorikan kepada kelompok ini. Orang yang “wah” di dunia. Harta berlimpah ruah, ilmu yang mumpuni, jabatan yang tinggi. Isteri/suami bak bintang film, keluarga yang mentereng, ke manapun pergi dielu-elukan orang bagai selebriti. Namun abai dengan urusan agama dan persiapan menghadapi hari esok. Melaksanakan shalat, paling shalat idul fithri dan atau idul adha, amat jarang atau bahkan tidak pernah masuk masjid, paling sewaktu-waktu masuk halaman masjid karena kebelet buang air kecil.
Suara adzan dianggap mengganggu privasinya. Dan ketika dia acuh dengan agama, bisnisnya semakin moncer, sehingga dia semakin takabbur, karena “toh tidak shalat rezeki semakin berlipat”. Inilah tipe orang yang “terlalu berani mengabaikan nasibnya yang abadi di dunia, dengan kesenangan sementara di akhirat”.
Dalam Al Qur’an Surat Al An’am, 6:44 Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ُذكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيهِم اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى اِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإذَاهُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Inilah orang yang menurut istilah di masyarakat “dilulu’ “, istilah agamanya istidraj. Semakin durhaka semakin kaya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait