JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - "Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi. Di gerbongmu ratusan orang yang mati. Hancurkan mimpi bawa kisah. Air mata… air mata,” itulah sepenggal lirik dari lagu Iwan Fals berjudul 1910.
Lirik lagu Iwan Fals itu menggambarkan suasana kecelakaan kereta api di Bintaro pada 19 Oktober 1987 atau 35 tahun yang lalu pada 19 Oktober 2022 mendatang. Insiden memilukan itu tentu mengingatkan akan insiden Tragedi Bintaro I.
Insiden Tragedi Bintaro I melibatkan dua buah kereta api, yakni KA 255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang mengangkut 700 penumpang dan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang - Merak yang mengangkut 500 penumpang. Peristiwa di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan itu terjadi pada saat jam orang berangkat kerja.
Akibat kecelakaan dahsyat itu, setidaknya 153 jiwa tewas, dan 300 orang luka-luka. Tragedi Bintaro I itupun menjadi tamparan hebat bagi perkereta-apian di Indonesia.
Dikutip SINDOnews, nasib Slamet Suradio, masinis KA 225 dalam Tragedi Bintaro selepas dari penjara dikisahkan dalam akun YouTube Kisah Tanah Jawa berjudul Mengais Sisa Tangis-Tragedi Bintaro I yang diunggah pada 2019.
Tragedi Bintaro tahun 1987, membuat Slamet harus menjalani hukuman 5 tahun penjara. Adung Syafei, Kondektur KA 225 juga mengalami nasib yang sama, dia harus mendekam di hotel prodeo selama 2 tahun 6 bulan. Padahal, Slamet mengaku telah mengabdi selama 20 tahun di perusahaan KA.
Tragedi Bintaro. Foto: Dok
Selepas dari penjara, Slamet kehilangan pekerjaan. Dia juga tidak mendapat uang pensiun. Karena sudah tak mendapatkan apapun Slamet akhirnya memilih pulang ke kampung halamannya di Purworejo, Jawa Tengah untuk menyambung hidup dengan bekerja sebagai penjual rokok.
“Berjualan rokok di dekat Stasiun Kutoarjo,” kata Slamet dikutip dari YouTube Kisah Tanah Jawa.
Namun miris, selain kehilangan pekerjaan, Slamet juga kehilangan istrinya Kasni yang telah menikah lagi dengan seorang masinis. Maklum saja, saat itu Kasni hanya menerima separuh dari gaji suaminya, sedangkan untuk membiayai 7 anaknya saja tidak cukup. Sementara, penghasilan tambahan dari Kasni bekerja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Cobaan itu dialami Slamet ketika sedang menjalani hukuman.
Slamet kemudian mengingat lagi bagaimana Tragedi Bintaro tersebut. Dia menegaskan bahwa memberangkatkan kereta sendiri adalah sebuah kebohongan. “Kalau ada orang mengatakan berangkat sendiri itu bohong. Apa untungnya saya memberangkatkan kereta sendiri,” cerita Slamet.
Slamet memberangkatkan kereta berdasarkan instruksi. Saat membawa laju lokomotif itu, Slamet sama sekali tidak merasa khawatir karena tidak menerima sinyal apapun. Tidak disangka, begitu terkejutnya Slamet saat dari arah berlawanan muncul KA 220 dari Stasiun Kebayoran.
“Saya terus narik rem bahaya ternyata gagal, (kereta) tidak bisa berhenti. Tetap terjadi tabrakan,” ucapnya.
Kisah Perjalanan Maut Tragedi Bintaro
Berdasarkan data yang dihimpun SINDOnews dari berbagai sumber, kecelakaan ini berawal saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio; asistennya Soleh; dan seorang kondektur, Adung Syafei, berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara.
KA 225 tersebut tunggu bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dimasinisi Amung Sunary; dengan asistennya, Mujiono.
Saat bersilang itu, tiba-tiba tanpa ada komunikasi dengan Stasiun Sudimara, petugas Stasiun Serpong justru memberikan sinyal aman bagi kereta api yang dimasinisi Slamet untuk jalan. Padahal, tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Sedangkan jalur di Stasiun Sudimara penuh oleh kereta.
Slamet pun membawa KA 225 dari Serpong menuju Stasiun Sudimara dan tiba pada pukul 06.45 Wib. Benar saja, jalur di Stasiun Sudimara memang penuh dengan KA. Kepala Stasiun Sudimara lantas melansir perintah kepada Slamet untuk masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasiun Sudimara.
Saat akan dilansir, ternyata Slamet tidak dapat melihat adanya semboyan yang diberikan, hal itu karena penuhnya lokomotif di stasiun Sudimara. Kemudian Slamet bertanya kepada penumpang yang berada di lokomotif "berangkat ?", penumpang menjawab "berangkat !!". Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan.
Juru lansir yang melihat kereta berjalan sempat kaget hingga kemudian mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Beberapa petugas stasiun Sudimara pun kaget, bahkan beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.
PPKA Sudimara, Djamhari, bahkan mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia bahkan langsung berupaya mengejar kereta dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia.
Djamhari pun kembali ke stasiun, dan berusaha membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Akan tetapi kereta tetap melaju. Saat diusut, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal dengan semboyan genta.
KA 225 terus melaju dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan sekitar 30km/jam.
Dua kereta api yang sama-sama penuh dengan penumpang itu akhirnya bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta itupun hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 mengalami rusak berat.
Korban bergelimpangan
Benturan dua kereta itu terlihat dahsyat, hingga membuat gerbong pertama di belakang lokomotif pada kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.
Banyak penumpang yang tewas akibat efek teleskopik, dan mereka yang bernasib malang langsung 'tergiling' oleh putaran kipas radiator lokomotif.
Kedua kereta itupun hancur, terguling dan ringsek. Jumlah korban jiwa 153 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Semua korban tewas kebanyakan berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Usai kecelakaan dahsyat, di tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam gerbong kereta yang hancur.
Hukuman sang masinis
Akibat tragedi tersebut, masinis KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan dan harus kehilangan pekerjaan. Hal tersebut membuat dirinya terpaksa pulang ke kampung halamannya di Purworejo untuk menjadi petani.
Adung Syafei, Kondektur KA 225 juga mengalami nasib yang sama. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sementara Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Tragedi ini akhirnya diangkat ke layar lebar oleh sutradara Butje Malawau pada tahun 1989 dengan Judul film “Tragedi Bintaro”. Film ini dibintangi Lia Chaidir, film ini masuk dalam jajaran film tersukses pada tahun tersebut.
Selain diangkat ke layar lebar, Tragedi Bintaro 1987 membuat musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals, menciptakan sebuah lagu untuk mengenang peristiwa tersebut.
Artikel ini telah tayang di SINDOnews dengan judul: "Begini Nasib Slamet, Masinis Tragedi Bintaro yang Memilukan 34 Tahun Lalu".
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait